Kamis, 21 Maret 2013

Api Penyucian: Pengharapan Jiwa Mansuai di Hadapan Allah


Api Penyucian: Pengharapan Jiwa Manusia di Hadapan Allah
(Sebuah Refleksi)

Pendahuluan
Dalam iman, orang percaya bahwa setelah kematian di dunia ini, manusia menghadap Allah penciptanya. Oleh karena manusia adalah mahkluk yang rendah dan berdosa di hadapan Allah, maka manusia tidak layak berhadapan muka dengan Allah. Di sini, api penyucian mendapatkan artinya, bahwa dalam api penyucian jiwa manusia dipersiapkan untuk menjadi layak berhadapan muka dengan Allah.
Terhadap gambaran api penyucian seperti ini, muncul beberapa pertanyaan teologis; jika Allah Maha baik yang tidak memperhitungkan kesalahan manusia kenapa masih ada api penyucian (ataupun neraka)? Apa yang terjadi dengan jiwa manusia dalam api penyucian? Apa makna api penyucian bagi jiwa manusia yang telah meninggal dan bagi manusia yang masih hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini hendak dijawab dalam dalam beberapa pokok pikiran antara lain: Pengertian api penyucian; Relasi Allah dan Manusia dengan adanya api penyucian; Keadaan jiwa manusia setelah kematian; dan Makna api penyucian bagi jiwa manusia (baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal).

1.      Pengertian Api Penyucian
Api penyucian adalah istilah kiasan yang bersifat deskriptif untuk proses pembersihan dan penycuian manusia sebelum ia mendekati yang Mahakuasa untuk dapat masuk surga (dari bahasa Latin purgatorium yang berarti pemurnian atau pembersihan).[1] Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030 api penyucian didefinisikan sebagai “keadaan mereka yang mati dalam persahabatan dengan Allah, ada kepeastian akan keselamatan kekal (bagi) mereka, tetapi (mereka) masih membutuhkan permurnian untuk masuk ke dalam kebahagiaan surga”.[2] Dilengkapi lagi bahwa api penyucian adalah tahap terakhir dalam proses pemurnian pada perjalanan kepada ALlah.[3] Thomas P. Rausch, setelah mengungkapkan api penyucian sebagai dasar bagi orang Katolik untuk berdoa bagi orang yang sudah meninggal (Bdk. 2 Mak. 12: 43-46), menegaskan hal yang sama bahwa ajaran api penyucian berkaitan dengan pembersihan yang harus dijalani untuk “hukuman sementara” karena dosa yang sudah diampuni, atau dengan kata lain untuk meniadakan akibat-akibat dosa. Dan lebih lanjut ia menganjurkan bahwa “sebagai konsep eskatoligis, api penyucian janganlah dibayangkan dalam rangka ruang dan waktu”, tanpa memberikan alternatif untuk memahaminya.[4]
Selain sebagai keadaan untuk pembersihan, api penyucian juga sering mendapatkan arti tempat yang mulai dikenal pada rawal abad ke-12.[5] Peng-artian sebagai tempat pemurnian, dilengkapi dengan “api” dari terjemahan purgatorium semata. Origenes dengan tepat mengatakan bahwa setelah kematian, jiwa-jiwa dari orang-orang berdosa akan diserahkan ke dalam suatu api yang membersihkan mereka; api itu bukan api abadi atau api neraka.[6] Api disini bisa diinterpretasi sebagai sarana untuk meleburkan emas, yang tidak dalam arti pengrusakan melainkan pemurnian. Paus Yohanes Paulus II, dalam bukunya Crossing the Thershold of Hoper, menggunakan ‘api kasih abadi yang bernyala-nyala’ dari St, Yohanes dari Salib bagi kata api penyucian sebagai api yang memurnikan.[7] Demikian maka semakin jelas bahwa dalam api penyucian, jiwa manusia dimurnikan untuk kembali bersatu dengan ALlah. Dengan demikian pengertian tentang api penyucian selalu terarah pada hal pemurnian jiwa manusia yang telah meninggal. Pemurnian ini dimaksudkan untuk mempersiapkan meraka untuk bersatu dengan Allah penciptanya.

2.      Relasi Allah dan Manusia dengan adanya Api Penyucian
Pertanyaan mendasar selanjutnya ialah bagaimana cara memahami bahwa dihadapan Allah dengan ke-mahabaikan-Nya masih terdapat api penyucian? (pertanyaan yang sama atas adanya neraka). Apakah adanya api penyucian mengurangi kebaikan Allah yang tidak memperhitungkan segala dosa manusia dan juga Allah yang mahasetia. Dan jika dihubungkan dengan penebusan dan pendamaian oleh kurban darah Kristus, apakah manusia memerlukan api penyucian? Atau mengapa harus ada api penyucian? Dan jika setelah manusia ditebus ia tetap jatuh dalam dosa, apa arti penebusan Tuhan bagi manusia? Ketiga pertanyaan ini seakan mempertentangkan antara kebaikan hati Allah dan keberadaan api penyucian (yang mengerikan), serta penebusan Kristus dan relasi manusia dengan Allah yang telah diperdamaikan oleh kurban darah Kristus.
Atas persoalan ini, KGK memberikan penjelasan yang meyakinkan dengan mengambalikan persoalan pada relasi Allah dan manusia sejak penciptaan. Dalam penciptaan manusia diberikan kebebasan untuk untuk berelasi dengan Allah. Ketika manusia memilih menjauh dan berbalik dari kehendak Allah yang berujung pada penderitaan-dosa bagi manusia, Allah menghendaki supaya semua manusia berbalik dan bertobat (2 Pet. 3:9).[8]
Dengan demikian, surga, neraka dan api penyucian yang diperoleh manusia merupakan konsekwensi dari pilihan bebas manusia. Namun pandangan ini perlu diperjelas dengan melihat maksud api penyucian dari perspektif manusia. Dari paradigma berpikir manusia, api penyucian adalah tempat dimana manusia oleh kesadaran akan dirinya di hadapan Allah, mengalami dirinya tidak langsung berhadapan muka dengan Allah di surga. Api penyucian tidaklah diberikan Allah kepada manusia tetapi dipilih oleh jiwa manusia. Dasarnya bahwa setelah kematian jiwa orang beriman kembali kepada tempatnya di hadapan Khalik Pencipta. Dengan iman dapat diterima bahwa jiwa yang kembali kehadapan Allah adalah jiwa yang jernih yang dapat mengenal Allah dan dirinya. Yosef Lalu mendeskripsikan dengan jelas bahwa pada saat kematian, manusia melihat dirinya dalam keadaan yang sesungguhnya. Karena kematian itu berarti pencerahan kepada Allah, ketidakmurnian dialami sebagai ketidakcocokan yang menyakitkan.[9] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya api penyucian tidak menghilangkan kebaikan hati Allah, bahkan oleh kebaikan hati dan kesetiaan Allah maka jiwa manusia diberi kesempatan untuk melayakan dirinya sebelum masuk dalam perjamuan surgawi. Selain itu perlu juga bahwa penekanan berlebihan pada ‘api’ seringkali membuat proses penyucian dilihat sebagai suatu proses yang mengerikan serta menakutkan.
Namun tersisa sebuah persoalan mengenai relasi Allah dan manusia yang telah diperdamaikan. Titik jawabannya masih sama yakni pada anugerah kebebasan manusia dihadapan Allah. Penebusan dan pendamaian relasi manusia dengan Allah oleh darah Kristus tidak serta merta menghapus kebebasan manusia di hadapan Allah. Oleh karena Allah itu mahabaik dan setia maka manusia tetap memiliki kebebasan dalam hatinya. Atas kebebasan itu manusia dapat menentukan pilihannya dan memberikan bobot bagi pilihan itu. Manusia bebas memilih untuk mendekatkan diri dengan kehendak dan rencana Allah yang berbuah pada keselamatannya. Ataukah memilih berbalik dari relasi dengan Allah (dalam rencana dan kehendak-Nya) yang berakhir pada penderitaannya. Maka setelah pendamaian Kristus dengan mendekatkan manusia kepada Allah, manusia masih berpotensi dan memiliki tendensi kembali kepada cara yang lama; menjauh dari Allah. Karena itu, menjadi tepatlah ketika Yesus menjanjikan Roh-Nya kepada umat beriman ketika Ia kembali ke Surga. Maka, oleh karena potensi dan kecenderungan manusia berbalik dari Allah ini, maka tepatlah jika api penyucian tetap dilihat sebagai sarana, dan karena didukung oleh kejernihannya, jiwa manusia mempersiapkan diri untuk berhadapan muka dengan Allah.
Pertanyaan reflektif yang mengikuti penjelasan ini ialah apa makna penebusan Kristus jika manusia selalu kembali ke jalan yang salah, kendatipun telah ‘diluruskan’ oleh Allah sekalipun? Apakah penebusan Kristus sia-sia? Pertanyaan ini mengajak kita membedakan situasi manusia sebelum dan sesudah inkarnasi Yesus. Hal yang paling mendasar dari inkarnasi adalah Allah menjadi manusia, yang tentu berbeda dengan jaman sebelumnya dimana Allah memakai para nabi-Nya untuk mengajak manusia berbalik pada relasi dengan-Nya. Allah yang hadir secara konkret ini memiliki makna yang mendalam bagi manusia yakni dengan inkarnasi itu Allah menyatakan cinta dan kesetiaan-Nya kepada manusia. Dan peristiwa ini dialami secara nyata oleh umat manusia dalam karya penebusan dosa manusia. Manusia yang telah lama ‘berkubang’ dalam dosa dan ketidaktahuan mendapatkan tawaran Kristus untuk berbalik dan dengan itu diangkat menjadi anak-anak Allah. Ini adalah suatu pengalaman iman yang membuka mata umat manusia supaya mereka mengarahkan hati kepada Allah juga dengan rasa cinta. Suatu yang baru dalam karya penebusan Kristus adalah penegasan bahwa Allah adalah Bapa yang maha baik. Pengalaman ini sangat jelas ditegaskan Yesus dalam doa Bapa Kami.
Dengan Allah yang akrab di bumi bersama manusia dan pengenalan Allah sebagai ‘Abba’ membuka hati dan pikiran manusia untuk membangun relasi dengan cara pandang yang baru, yakni dengan rasa cinta. Inilah yang dituntut dalam karya penebusan Kristus untuk memperoleh hidup abadi bersama Allah di surga. Tujuan ini searah dengan kutipan St. Ignasius bahwa dengan inkarnasi-Nya Yesus membuka ruang bagi manusia untuk kehidupan abadi.[10] Dalam Perjanjian Baru hal ini sudah diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus;
“… telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -oleh kasih karunia kamu diselamatkan - dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef 2:4-7).[11]
Dengan demikian penebusan Kristus bukanlah hal yang tanpa arti. Meski demikian tetap ditegaskan bahwa cinta yang besar dari Allah tidak menghapuskan manghilangkan kebebasan manusia. Sebab dengan kebebasan itulah, bobot cinta manusia dalam relasinya dengan Allah dapat dimaknai.

3.      Keadaan Jiwa Manusia Setelah Kematian
Bagaimana keadaan jiwa manusia dalam api penyucian menjadi suatu hal yang menantang. Dikatakan menantang karena kita secara manusia belum mengentahui dengan pasti kemana jiwa kita pergi. Tetap dalam iman akan Allah pencipta yang memberikan kita nafas kehidupan, maka sebagai ‘nafas Allah’ tentu ia akan kembali kepada Allah. Sejalan dengan  itu orang beriman menyakini bahwa setelah kematian, tubuh-ragawi manusia akan hancur.[12] Tetapi itu tidak disertai dengan kematian jiwa, sebab jiwa manusia bersifat immortal.[13] Sesudah kematian, jiwa manusia akan mengalami salah satu dari tiga kemungkinan ini: langsung masuk ke surga; langsung masuk neraka; dan masuk ke api penyucian. Jiwa yang masuk dalam api penyucian adalah jiwa yang belum layak atau belum siap untuk mendapatkan tempat di dalam surga.[14]
Satu dari tiga kemungkinan ini dalam pengajaran sering dilihat sebagai hasil dari pengadilan khusus bagi jiwa yang.[15] Pandangan ini sesuai dengan pengajaran St. Agustinus yang menyatakan bahwa begitu jiwaa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili.[16] Setelah pengadilan jiwa orang yang meninggal akan masuk surga (jika ia sempurna) atau masuk neraka (jika ia meninggal dalam keadaan berdosa berat) atau masuk api penyucian (jika ia meninggal dalam keadaan berdamai dengan Allah, namun masih harus dimurnikan terlebih dahulu). Pendamaian ini dialami dengan pemurnian dalam api penyucian yang mana didukung oleh kejernihan jiwa dalam melihat dirinya di hadapan Allah. Maka api penyucian sebagai pengadilan dapat diterima sebagai kesadaran jiwa bahwa ia tidak layak untuk langsung berhadapan muka dengan Allah. Maria Simma dalam wawancara dengan Suster Suster Emmanuel dari Medjugorje, menyatakan bahwa setiap kesalan dan dosa manusia selama di dunia menjadi sebuah noda yang perlu dibersihkan dalam api penyucian.[17] Searah dengan itu Pidyarto Gunawan, menyatakan bahwa dosa-dosanya sendiri, sejauh sebagai kesalahan memang sudah diampuni Tuhan. Namun, setiap dosa membawa serta hukuman (atas dosa-dosanya yang tidak sempat dia selesaikan di dunia, dapat diselesaikan di api penyucian).[18]
Dalam api penyucian jiwa manusia oleh kejernihan hatinya dapat memandang Allah dan dirinya. Dengan kejernihan ini kerajaan surga sudah berada di depan mata menjadi suatu hal yang sangat membahagiakan. Serasa hendak mengecap tetapi tak berdaya oleh ketaklayakannya. Dari sini dapat dibayangkan adanya suatu penderitaan yang amat sangat bagi jiwa tetapi disertai juga suatu kepercayaan akan kerahiman Allah. Dengan kesadaran yang jernih akan dirinya, dapat dibayangkan ada penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuatan. Dan kesalahan itu tidak dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri apalagi untuk hidup kembali. Kisah orang kaya dan Lazarus dapat menjelaskan ini bahwa orang kaya setelah meninggal dunia, bisa melihat Allah tetapi tidak berdaya (Luk.16:19-31). Dari sini menjadi tepatlah apa yang dikatakan oleh St. Maria Simma bahwa jiwa-jiwa di api penyucian yang menampakan diri kepadanya memohon untuk didoakan.[19] Hal ini sejalan dengan KGK 1032 yang mengatakan ‘karena ada persekutuan jiwa-jiwa para kudus, kaum beriman yang masih berjuang di dunia ini dapat membantu jiwa-jiwa di api penyucian dengan mempersembahkan doa-doa untuk mereka, khusunya kurban Ekarisiti. Kita juga dapat membantu mereka dengan beramal, indulgensi, laku tapa dan tobat. St. Yohanes Kristosmus mengatakan “baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Dengan merujuk pada kisah Ayub, ia mengatakan jika anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jika kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka”. Demikian juga konsili Lyons II (1274) dan konsili Florence (1438-1445) mengajarkan perlunya doa serta karya saleh yang dipersembahkan untuk keselamatan mereka yang telah meninggal.[20]
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bantuan kita ini dapat diteriman mereka yang berada dalam api penyucian? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat situasi dasar jiwa-jiwa dalam api penyucian. Dalam api penyucian jiwa manusia memiliki kerinduan dan harapan untuk bersatu dengan Allah, tetapi ia berhadapan dengan ketaklayakannya di hadapan kemuliaan Allah. Oleh karena dari dirinya sendiri merasa belum pantas, maka mereka masih membutuhkan waktu  untuk penyesuaian diri itu agar dipantaskan oleh Tuhan sendiri. Disinilah doa-doa orang beriman diperlukan dengan mempersatukan mereka dalam persembahan Kristus sendiri, sekaligus mengenangkan mereka. Dalam hal ini St. Agustinus mengatakan bahwa purgatorium adalah kemurahan dari Allah Bapa dan menekankan pentingnya mendoakan jiwa-jiwa tersebut untuk meringankan proses permunian orang-orang yang kita cintai.[21]

4.      Makna Api penyucian; Pengharapan Jiwa Manusia
Sejalan dengan uraian sebelumnya dapat diringkaskan bahwa dalam api penyucian, jiwa manusia dipenuhi dengan kerinduan dan harapan yang besar untuk bersatu dengan Allah. Tetapi kerinduan dan harapan itu tidak serta merta menghantar mereka langsung berhadapan dengan Allah. Alasannya bahwa mereka mendapatkan diri tidak layak untuk langsung bersatu dengan Allah. Dengan demikian jiwa mereka membutuhkan dukungan doa dan kurban dari mereka yang masih hidup juga para kudus. Dalam kesadaran akan persekutuan ini, harapan dan kerinduan mereka diarahkan sebab mereka tidak dapat menolong diri mereka sendiri.
Dari uraian ini, adanya api penyucian bermakna bagi pengharapan jiwa manusia. Pengharapan ini dialami oleh semua umat beriman yakni dalam persekutuan umat Allah baik yang sedang bersiarah di dunia, yang berada di api penyucian dan juga para kudus yang sudah berada bersama Allah di surga. Maka api penyucian dapat dilihat sebagai yang mampu meneguhkan pengharapan kepada segenap umat Allah. Pengharapan disini dapat dimengerti sebagai tiadanya keragu-raguan akan masa depan. Karena tiadanya keraguan akan masa depan itu, maka harapan itu membuat orang yang mengharapkannya tetap bertahan.[22] Dalam arti ini dapat dibicarakan pengharapan jiwa manusia dengan bertitik tolak pada api penyucian, yakni jiwa manusia yang masih berziarah, yang telah meninggal dan yang telah bersama Allah di surga.
Bagi jiwa yang sedang berziarah yakni masih bersatu denga tubuh, dengan mendoakan saudara-saudara di dalam api penyucian secara langsung memberikan dorongan kepada mereka akan kerahiman Allah. Dukungan dalam kesungguhan doa, kurban dan amal baik mendorong dan mempertebal iman jiwa-jiwa di api penyucian untuk berhadapan dengan Allah. Dengan kesungguhan hati ini, tidak hanya membantu mempertebal iman dan pengharapan jiwa di api penyucian tetapi juga bagi pertumbuhan iman dan pengharapannya.
Bagi jiwa di api penyucian, pengharapan mereka diteguhkan melalui penglihatan langsung akan kemuliaan Allah. Dan oleh pengharapan itu mereka boleh bertahan dalam pemurnian itu, karena Allah sumber dan tujuan pengharapan sudah berada di depan mata mereka. Kerahiman dan kesetiaan Allah nampak ketika Ia menyatakan kemuliaan-Nya dan dari situ jiwa-jiwa memiliki pengharapan dalam Allah. Sama seperti ketika Ia menyatakan diri melalui inkarnasi Yesus Kristus yang memberikan pengharapan akan keselamatan kepada umat manusia. Hal ini terjadi juga dalam suasana api penyucian.
Pada tingkat yang lebih tinggi lagi bagi para orang kudus yang telah menikmati surga bersama Allah. Bagi para kudus iman dan pengharapan mereka telah disempurnakan yakni mengalami Allah secara langsung. Dalam relasi yang akrab dengan Allah mereka meneguhkan harapan jiwa-jiwa di api penyucian bahwa mereka juga akan mengalaminya. Melalui doa bersama orang kudus, jiwa-jiwa juga mendapatkan dorongan dan dukungan akan kerahiman Allah. Para kudus melalui doa kepada jiwa-jiwa di api penyucian juga menyatakan iman dan pengharapannya akan kerahiman dan kesetiaan Allah.

Penutup
Dengan demikian adalah tepat jika dikatakan bahwa adanya refleksi atas api penyucian mendukung jalannya karya penyelamatan umat Allah. Karya keselamatan itu terus berlangsung oleh karena iman dan pengharapan umat Allah. Pengharapan jiwa itu ditujukan pada kerahiman dan kesetiaan Allah. Oleh karena pengharapan itu berasal dari Allah ketika Ia menyatakan diri-Nya, maka pengharapan itu tidak pernah hilang dari jiwa manusia. Entah itu ketika jiwa masih berziarah di dunia juga ketika jiwa telah berada di api penyucian (demikian juga jika jiwa berada dalam neraka), bahkan di surga oleh para kudus.
Refleksi ini membantu iman dan pengharapan akan kerahiman dan kesetiaan Allah atas umat manusia. Allah selalu berinisiatif menyelamatkan jiwa manusia, yakni roh yang menghidupkan Adam yang kelak diilahikan menjadi serupa dengan Allah. Di sini menjadi jelas bahwa Allah adalah sumber dan tujuan pengharapan jiwa manusia. Dan lagi persekutuan umat beriman ini dikukuhkan dalam iman dan pengharapan yang sama.
Sumber Bacaan:
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Gunawan, H. Pidyarto, O. Carm, Umat Bertanya Romo Pid Menjawab 7, Yogyakarta: Kanisius 2004.
Heuken, Adolf, SJ., Ensiklopedi Gereja I A-B, Jakarta: Cipta Loka Karya, 2004.
Lalu, Yosep, Pr, Menggumuli Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik; Seri 4, Jakarta: Kanisius, 2010.
Rausch,Thomas P,. Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Spirago - Clarke, The Catechism Explained - An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, ___(?)
Wuritimur, Amrosius, Traktat Eskatologi, Pineleng, 2011.

KWI, Iman Katolik, Yogyakarga: Kanisius, 1996.
Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KGK).

http://www.catholicherald.com (6 Oktober 2011).


[1] Bdk. Nico Syukur Dister, OFM, (Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 594. Dan kata ‘Api Penyucian’ dalam,  Adolf Heuken, SJ., (Ensiklopedi Gereja I A-B, Jakarta: Cipta Loka Karya, 2004).
[2]Purgatory’: A place or condition of temporal punishment for those who, departing this life in God's grace, are, not entirely free from venial faults, or have not fully paid the satisfaction due to their transgressions.
[3] Ditambahkan juga bahwa dalam bahasa resmi gereja tidak disebut “api”, hanya penyucian atau purgatorium. Dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik, hlm. 75.
[4] Pernyataan ini kurang lengkap juga sangat abstrak sebab setiap keadaan selalu terpikir dalam ruang dan waktu. Lih. Thomas P. Rausch, (Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 318.
[5] Lih. Thomas P. Rausch, hlm. 318.
[6] Terkutip dalam, Amrosius Wuritimur, (Traktat Eskatologi, Pineleng, 2011), hal. 34.
[7] William P. Saunders, (Straight Answers: Does Purgatory Exist?, Arlington Catholic Herald, Inc., 2002), dalam  www.catholicherald.com (6 Oktober 2011).
[8] Namun Allah menciptakan manusia dalam keadaan bebas dan manusia sendiri mempunyai tanggun jawab; Allah mengharagai keputusan-keputusan kita. Karena itu, manusialah yang dengan bebas memisahkan dirinya dari kesatuan dengan Allah jika pada saat kematian dia tetap berpegang teguh pada pendiriannya dalam dosa berat dan menolak cinta dan kerahiman Alah. Dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik, hlm. 75. KGK no. 1031.
[9] Lih. Yosep Lalu, (Menggumuli Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik; Seri 4, Jakarta: Kanisius, 2010), hlm. 288-289.
[10] Bdk. Amrosius Wuritimur, hal. 28
[11] Bdk. 1 Petrus 1: 3-4 “… yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa.”
[12] Tentang tubuh manusia, dinyatakan bahwa akan dibangkitkan pada penghakiman terakhir yang bersifat universal. Jiwa-jiwa yang berpisah dari badan akan dipersatukan kembali dengan badan mereka. Semua orang akan diadili (kembali) oleh Yesus Kristus. Dr. H. Pidyarto Gunawan, O. Carm, (Umat Bertanya Romo Pid Menjawab 7, Yogyakarta: Kanisius 2004), hlm. 28.
[13] Adalah St. Yustinus Martir yang berbicara tentang immortalitas jiwa, bahwa jiwa adalah pemberian Allah dan hidup bukan dari dirinya tetapi Allah yang menghendakinya hidup. Dalam hubungannya dengan Tritunggal Kudus, jiwa manusia nantinya diilahikan bukan dalam arti cobsubstansi dengan Allah tetapi dalam arti imitasi (serupa) dengan Allah. Bdk. Amrosius Wuritimur, hal. 29.
[14] Menurut banyak orang sebetulnya ada tiga pintu dihadapan manusia setelah kematiannya yakni pintu surga, neraka, dan api penyucian. Karena mereka menganggap diri kurang baik untuk surga, dan juga tidak mau masuk neraka, maka api penyucian dipandang sebagai pintu yang normal. KWI, Iman Katolik, Yogyakarga: Kanisius, 1996. hlm. 468. Bdk. Yosef Lalu, hlm. 288.
[15] Spirago- Clarke, The Catechism Explained - An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, ___(?), hal. 256
[16] Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2).
[17] Bdk. wawancara Suster Emmanuel dari Medjugorje dengan visionari Maria Simma yang diterjemahkan oleh Jeffry Komala, dari buku The Amazing Secret of the Souls in Purgatory" dalam http://www.gerejakatolik.net/artikel/rahasia.htm ( diunduh 20 Oktober 2011)
[18] Dr. H. Pidyarto Gunawan, O. Carm, hlm. 28.
[19] Bdk. http://www.gerejakatolik.net/artikel/rahasia.htm ( diunduh 10 November 2011)
[20] Bdk. http://www.thewicaksonos.co.cc./api-penyucian-purgatory-perlukah-mendoakan-orang-yang-telah-meninggal.html. (diunduh 20 Oktober 2011).
[21] Ibid.
[22] Lih. Amrosius Wuritimur, hal. 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar