Api Penyucian: Pengharapan
Jiwa Manusia di Hadapan Allah
(Sebuah Refleksi)
Pendahuluan
Dalam iman, orang percaya bahwa setelah kematian di
dunia ini, manusia menghadap Allah penciptanya. Oleh karena manusia adalah
mahkluk yang rendah dan berdosa di hadapan Allah, maka manusia tidak layak
berhadapan muka dengan Allah. Di sini, api penyucian mendapatkan artinya, bahwa
dalam api penyucian jiwa manusia dipersiapkan untuk menjadi layak berhadapan
muka dengan Allah.
Terhadap gambaran api penyucian seperti ini, muncul
beberapa pertanyaan teologis; jika Allah Maha baik yang tidak memperhitungkan
kesalahan manusia kenapa masih ada api penyucian (ataupun neraka)? Apa yang
terjadi dengan jiwa manusia dalam api penyucian? Apa makna api penyucian bagi jiwa
manusia yang telah meninggal dan bagi manusia yang masih hidup?
Pertanyaan-pertanyaan ini hendak dijawab dalam dalam beberapa pokok pikiran
antara lain: Pengertian api penyucian; Relasi Allah dan Manusia dengan adanya api
penyucian; Keadaan jiwa manusia setelah kematian; dan Makna api penyucian bagi
jiwa manusia (baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal).
1.
Pengertian Api Penyucian
Api penyucian adalah istilah kiasan yang bersifat
deskriptif untuk proses pembersihan dan penycuian manusia sebelum ia mendekati
yang Mahakuasa untuk dapat masuk surga (dari bahasa Latin purgatorium yang berarti pemurnian atau pembersihan).[1] Dalam
Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030 api penyucian didefinisikan sebagai “keadaan
mereka yang mati dalam persahabatan dengan Allah, ada kepeastian akan
keselamatan kekal (bagi) mereka, tetapi (mereka) masih membutuhkan permurnian
untuk masuk ke dalam kebahagiaan surga”.[2] Dilengkapi
lagi bahwa api penyucian adalah tahap terakhir dalam proses pemurnian pada
perjalanan kepada ALlah.[3]
Thomas P. Rausch, setelah
mengungkapkan api penyucian sebagai dasar bagi orang Katolik untuk berdoa bagi
orang yang sudah meninggal (Bdk. 2 Mak. 12: 43-46), menegaskan hal yang sama
bahwa ajaran api penyucian berkaitan dengan pembersihan yang harus dijalani
untuk “hukuman sementara” karena dosa yang sudah diampuni, atau dengan kata
lain untuk meniadakan akibat-akibat dosa. Dan lebih lanjut ia menganjurkan
bahwa “sebagai konsep eskatoligis, api penyucian janganlah dibayangkan dalam
rangka ruang dan waktu”, tanpa memberikan alternatif untuk memahaminya.[4]
Selain sebagai keadaan untuk pembersihan, api
penyucian juga sering mendapatkan arti tempat yang mulai dikenal pada rawal
abad ke-12.[5]
Peng-artian sebagai tempat pemurnian, dilengkapi dengan “api” dari terjemahan
purgatorium semata. Origenes dengan tepat mengatakan bahwa setelah kematian,
jiwa-jiwa dari orang-orang berdosa akan diserahkan ke dalam suatu api yang
membersihkan mereka; api itu bukan api abadi atau api neraka.[6] Api
disini bisa diinterpretasi sebagai sarana untuk meleburkan emas, yang tidak
dalam arti pengrusakan melainkan pemurnian. Paus Yohanes Paulus II, dalam
bukunya Crossing the Thershold of Hoper, menggunakan
‘api kasih abadi yang bernyala-nyala’ dari St, Yohanes dari Salib bagi kata api
penyucian sebagai api yang memurnikan.[7] Demikian
maka semakin jelas bahwa dalam api penyucian, jiwa manusia dimurnikan untuk
kembali bersatu dengan ALlah. Dengan demikian pengertian tentang api penyucian
selalu terarah pada hal pemurnian jiwa manusia yang telah meninggal. Pemurnian
ini dimaksudkan untuk mempersiapkan meraka untuk bersatu dengan Allah
penciptanya.
2.
Relasi Allah dan Manusia dengan adanya Api Penyucian
Pertanyaan mendasar selanjutnya ialah bagaimana cara
memahami bahwa dihadapan Allah dengan ke-mahabaikan-Nya masih terdapat api
penyucian? (pertanyaan yang sama atas adanya neraka). Apakah adanya api
penyucian mengurangi kebaikan Allah yang tidak memperhitungkan segala dosa
manusia dan juga Allah yang mahasetia. Dan jika dihubungkan dengan penebusan dan
pendamaian oleh kurban darah Kristus, apakah manusia memerlukan api penyucian?
Atau mengapa harus ada api penyucian? Dan jika setelah manusia ditebus ia tetap
jatuh dalam dosa, apa arti penebusan Tuhan bagi manusia? Ketiga pertanyaan ini seakan
mempertentangkan antara kebaikan hati Allah dan keberadaan api penyucian (yang
mengerikan), serta penebusan Kristus dan relasi manusia dengan Allah yang telah
diperdamaikan oleh kurban darah Kristus.
Atas persoalan ini, KGK memberikan penjelasan yang
meyakinkan dengan mengambalikan persoalan pada relasi Allah dan manusia sejak
penciptaan. Dalam penciptaan manusia diberikan kebebasan untuk untuk berelasi
dengan Allah. Ketika manusia memilih menjauh dan berbalik dari kehendak Allah
yang berujung pada penderitaan-dosa bagi manusia, Allah menghendaki supaya
semua manusia berbalik dan bertobat (2 Pet. 3:9).[8]
Dengan demikian, surga, neraka dan api penyucian yang
diperoleh manusia merupakan konsekwensi dari pilihan bebas manusia. Namun pandangan
ini perlu diperjelas dengan melihat maksud api penyucian dari perspektif
manusia. Dari paradigma berpikir manusia, api penyucian adalah tempat dimana
manusia oleh kesadaran akan dirinya di hadapan Allah, mengalami dirinya tidak
langsung berhadapan muka dengan Allah di surga. Api penyucian tidaklah
diberikan Allah kepada manusia tetapi dipilih oleh jiwa manusia. Dasarnya bahwa
setelah kematian jiwa orang beriman kembali kepada tempatnya di hadapan Khalik
Pencipta. Dengan iman dapat diterima bahwa jiwa yang kembali kehadapan Allah
adalah jiwa yang jernih yang dapat mengenal Allah dan dirinya. Yosef Lalu mendeskripsikan
dengan jelas bahwa pada saat kematian, manusia melihat dirinya dalam keadaan
yang sesungguhnya. Karena kematian itu berarti pencerahan kepada Allah,
ketidakmurnian dialami sebagai ketidakcocokan yang menyakitkan.[9] Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa adanya api penyucian tidak menghilangkan
kebaikan hati Allah, bahkan oleh kebaikan hati dan kesetiaan Allah maka jiwa
manusia diberi kesempatan untuk melayakan dirinya sebelum masuk dalam perjamuan
surgawi. Selain itu perlu juga bahwa penekanan berlebihan pada ‘api’ seringkali
membuat proses penyucian dilihat sebagai suatu proses yang mengerikan serta
menakutkan.
Namun tersisa sebuah persoalan mengenai relasi Allah
dan manusia yang telah diperdamaikan. Titik jawabannya masih sama yakni pada
anugerah kebebasan manusia dihadapan Allah. Penebusan dan pendamaian relasi
manusia dengan Allah oleh darah Kristus tidak serta merta menghapus kebebasan
manusia di hadapan Allah. Oleh karena Allah itu mahabaik dan setia maka manusia
tetap memiliki kebebasan dalam hatinya. Atas kebebasan itu manusia dapat
menentukan pilihannya dan memberikan bobot bagi pilihan itu. Manusia bebas memilih
untuk mendekatkan diri dengan kehendak dan rencana Allah yang berbuah pada
keselamatannya. Ataukah memilih berbalik dari relasi dengan Allah (dalam rencana
dan kehendak-Nya) yang berakhir pada penderitaannya. Maka setelah pendamaian
Kristus dengan mendekatkan manusia kepada Allah, manusia masih berpotensi dan memiliki
tendensi kembali kepada cara yang lama; menjauh dari Allah. Karena itu, menjadi
tepatlah ketika Yesus menjanjikan Roh-Nya kepada umat beriman ketika Ia kembali
ke Surga. Maka, oleh karena potensi dan kecenderungan manusia berbalik dari
Allah ini, maka tepatlah jika api penyucian tetap dilihat sebagai sarana, dan
karena didukung oleh kejernihannya, jiwa manusia mempersiapkan diri untuk
berhadapan muka dengan Allah.
Pertanyaan reflektif yang mengikuti penjelasan ini
ialah apa makna penebusan Kristus jika manusia selalu kembali ke jalan yang
salah, kendatipun telah ‘diluruskan’ oleh Allah sekalipun? Apakah penebusan
Kristus sia-sia? Pertanyaan ini mengajak kita membedakan situasi manusia
sebelum dan sesudah inkarnasi Yesus. Hal yang paling mendasar dari inkarnasi
adalah Allah menjadi manusia, yang tentu berbeda dengan jaman sebelumnya dimana
Allah memakai para nabi-Nya untuk mengajak manusia berbalik pada relasi dengan-Nya.
Allah yang hadir secara konkret ini memiliki makna yang mendalam bagi manusia
yakni dengan inkarnasi itu Allah menyatakan cinta dan kesetiaan-Nya kepada manusia.
Dan peristiwa ini dialami secara nyata oleh umat manusia dalam karya penebusan
dosa manusia. Manusia yang telah lama ‘berkubang’ dalam dosa dan ketidaktahuan
mendapatkan tawaran Kristus untuk berbalik dan dengan itu diangkat menjadi
anak-anak Allah. Ini adalah suatu pengalaman iman yang membuka mata umat
manusia supaya mereka mengarahkan hati kepada Allah juga dengan rasa cinta.
Suatu yang baru dalam karya penebusan Kristus adalah penegasan bahwa Allah adalah
Bapa yang maha baik. Pengalaman ini sangat jelas ditegaskan Yesus dalam doa
Bapa Kami.
Dengan Allah yang akrab di bumi bersama manusia dan
pengenalan Allah sebagai ‘Abba’
membuka hati dan pikiran manusia untuk membangun relasi dengan cara pandang
yang baru, yakni dengan rasa cinta. Inilah yang dituntut dalam karya penebusan
Kristus untuk memperoleh hidup abadi bersama Allah di surga. Tujuan ini searah
dengan kutipan St. Ignasius bahwa dengan inkarnasi-Nya Yesus membuka ruang bagi
manusia untuk kehidupan abadi.[10]
Dalam Perjanjian Baru hal ini sudah diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Efesus;
“… telah menghidupkan kita bersama-sama dengan
Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -oleh kasih
karunia kamu diselamatkan - dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan
kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada
masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya
yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus
Yesus” (Ef 2:4-7).[11]
Dengan demikian penebusan Kristus bukanlah hal yang
tanpa arti. Meski demikian tetap ditegaskan bahwa cinta yang besar dari Allah
tidak menghapuskan manghilangkan kebebasan manusia. Sebab dengan kebebasan
itulah, bobot cinta manusia dalam relasinya dengan Allah dapat dimaknai.
3.
Keadaan Jiwa Manusia Setelah Kematian
Bagaimana keadaan jiwa manusia dalam api penyucian
menjadi suatu hal yang menantang. Dikatakan menantang karena kita secara
manusia belum mengentahui dengan pasti kemana jiwa kita pergi. Tetap dalam iman
akan Allah pencipta yang memberikan kita nafas kehidupan, maka sebagai ‘nafas
Allah’ tentu ia akan kembali kepada Allah. Sejalan dengan itu orang beriman menyakini bahwa setelah
kematian, tubuh-ragawi manusia akan hancur.[12] Tetapi
itu tidak disertai dengan kematian jiwa, sebab jiwa manusia bersifat immortal.[13]
Sesudah kematian, jiwa manusia akan mengalami salah satu dari tiga kemungkinan
ini: langsung masuk ke surga; langsung masuk neraka; dan masuk ke api penyucian.
Jiwa yang masuk dalam api penyucian adalah jiwa yang belum layak atau belum
siap untuk mendapatkan tempat di dalam surga.[14]
Satu dari tiga kemungkinan ini dalam pengajaran
sering dilihat sebagai hasil dari pengadilan khusus bagi jiwa yang.[15]
Pandangan ini sesuai dengan pengajaran St. Agustinus yang menyatakan bahwa
begitu jiwaa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili.[16]
Setelah pengadilan jiwa orang yang meninggal akan masuk surga (jika ia
sempurna) atau masuk neraka (jika ia meninggal dalam keadaan berdosa berat)
atau masuk api penyucian (jika ia meninggal dalam keadaan berdamai dengan
Allah, namun masih harus dimurnikan terlebih dahulu). Pendamaian ini dialami
dengan pemurnian dalam api penyucian yang mana didukung oleh kejernihan jiwa
dalam melihat dirinya di hadapan Allah. Maka api penyucian sebagai pengadilan
dapat diterima sebagai kesadaran jiwa bahwa ia tidak layak untuk
langsung berhadapan muka dengan Allah. Maria Simma dalam wawancara dengan
Suster Suster Emmanuel dari Medjugorje, menyatakan bahwa setiap kesalan dan
dosa manusia selama di dunia menjadi sebuah noda yang perlu dibersihkan dalam
api penyucian.[17] Searah
dengan itu Pidyarto Gunawan, menyatakan
bahwa dosa-dosanya sendiri, sejauh sebagai kesalahan memang sudah diampuni Tuhan.
Namun, setiap dosa membawa serta hukuman (atas dosa-dosanya yang tidak sempat
dia selesaikan di dunia, dapat diselesaikan di api penyucian).[18]
Dalam api penyucian jiwa manusia oleh kejernihan
hatinya dapat memandang Allah dan dirinya. Dengan kejernihan ini kerajaan surga
sudah berada di depan mata menjadi suatu hal yang sangat membahagiakan. Serasa
hendak mengecap tetapi tak berdaya oleh ketaklayakannya. Dari sini dapat
dibayangkan adanya suatu penderitaan yang amat sangat bagi jiwa tetapi disertai
juga suatu kepercayaan akan kerahiman Allah. Dengan kesadaran yang jernih akan
dirinya, dapat dibayangkan ada penyesalan atas kesalahan yang telah
diperbuatan. Dan kesalahan itu tidak dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri
apalagi untuk hidup kembali. Kisah orang kaya dan Lazarus dapat menjelaskan ini
bahwa orang kaya setelah meninggal dunia, bisa melihat Allah tetapi tidak
berdaya (Luk.16:19-31). Dari sini menjadi tepatlah apa yang dikatakan oleh St. Maria
Simma bahwa jiwa-jiwa di api penyucian yang menampakan diri kepadanya memohon
untuk didoakan.[19]
Hal ini sejalan dengan KGK 1032 yang mengatakan ‘karena ada persekutuan
jiwa-jiwa para kudus, kaum beriman yang masih berjuang di dunia ini dapat
membantu jiwa-jiwa di api penyucian dengan mempersembahkan doa-doa untuk
mereka, khusunya kurban Ekarisiti. Kita juga dapat membantu mereka dengan
beramal, indulgensi, laku tapa dan tobat. St. Yohanes Kristosmus mengatakan
“baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Dengan merujuk pada
kisah Ayub, ia mengatakan jika anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban
yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan
kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jika kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka”. Demikian juga konsili
Lyons II (1274) dan konsili Florence (1438-1445) mengajarkan perlunya doa serta
karya saleh yang dipersembahkan untuk keselamatan mereka yang telah meninggal.[20]
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bantuan kita
ini dapat diteriman mereka yang berada dalam api penyucian? Pertanyaan ini
dapat dijawab dengan melihat situasi dasar jiwa-jiwa dalam api penyucian. Dalam
api penyucian jiwa manusia memiliki kerinduan dan harapan untuk bersatu dengan
Allah, tetapi ia berhadapan dengan ketaklayakannya di hadapan kemuliaan Allah. Oleh
karena dari dirinya sendiri merasa belum pantas, maka mereka masih membutuhkan
waktu untuk penyesuaian diri itu agar
dipantaskan oleh Tuhan sendiri. Disinilah doa-doa orang beriman diperlukan
dengan mempersatukan mereka dalam persembahan Kristus sendiri, sekaligus
mengenangkan mereka. Dalam hal ini St. Agustinus mengatakan bahwa purgatorium
adalah kemurahan dari Allah Bapa dan menekankan pentingnya mendoakan jiwa-jiwa
tersebut untuk meringankan proses permunian orang-orang yang kita cintai.[21]
4.
Makna Api penyucian; Pengharapan Jiwa Manusia
Sejalan dengan uraian sebelumnya dapat diringkaskan bahwa
dalam api penyucian, jiwa manusia dipenuhi dengan kerinduan dan harapan yang
besar untuk bersatu dengan Allah. Tetapi kerinduan dan harapan itu tidak serta merta
menghantar mereka langsung berhadapan dengan Allah. Alasannya bahwa mereka
mendapatkan diri tidak layak untuk langsung bersatu dengan Allah. Dengan
demikian jiwa mereka membutuhkan dukungan doa dan kurban dari mereka yang masih
hidup juga para kudus. Dalam kesadaran akan persekutuan ini, harapan dan
kerinduan mereka diarahkan sebab mereka tidak dapat menolong diri mereka
sendiri.
Dari uraian ini, adanya api penyucian bermakna bagi
pengharapan jiwa manusia. Pengharapan ini dialami oleh semua umat beriman yakni
dalam persekutuan umat Allah baik yang sedang bersiarah di dunia, yang berada
di api penyucian dan juga para kudus yang sudah berada bersama Allah di surga.
Maka api penyucian dapat dilihat sebagai yang mampu meneguhkan pengharapan
kepada segenap umat Allah. Pengharapan disini dapat dimengerti sebagai tiadanya
keragu-raguan akan masa depan. Karena tiadanya keraguan akan masa depan itu,
maka harapan itu membuat orang yang mengharapkannya tetap bertahan.[22]
Dalam arti ini dapat dibicarakan pengharapan jiwa manusia dengan bertitik tolak
pada api penyucian, yakni jiwa manusia yang masih berziarah, yang telah
meninggal dan yang telah bersama Allah di surga.
Bagi jiwa yang sedang berziarah yakni masih bersatu
denga tubuh, dengan mendoakan saudara-saudara di dalam api penyucian secara
langsung memberikan dorongan kepada mereka akan kerahiman Allah. Dukungan dalam
kesungguhan doa, kurban dan amal baik mendorong dan mempertebal iman jiwa-jiwa
di api penyucian untuk berhadapan dengan Allah. Dengan kesungguhan hati ini,
tidak hanya membantu mempertebal iman dan pengharapan jiwa di api penyucian
tetapi juga bagi pertumbuhan iman dan pengharapannya.
Bagi jiwa di api penyucian, pengharapan mereka
diteguhkan melalui penglihatan langsung akan kemuliaan Allah. Dan oleh
pengharapan itu mereka boleh bertahan dalam pemurnian itu, karena Allah sumber
dan tujuan pengharapan sudah berada di depan mata mereka. Kerahiman dan
kesetiaan Allah nampak ketika Ia menyatakan kemuliaan-Nya dan dari situ
jiwa-jiwa memiliki pengharapan dalam Allah. Sama seperti ketika Ia menyatakan
diri melalui inkarnasi Yesus Kristus yang memberikan pengharapan akan
keselamatan kepada umat manusia. Hal ini terjadi juga dalam suasana api
penyucian.
Pada tingkat yang lebih tinggi lagi bagi para orang
kudus yang telah menikmati surga bersama Allah. Bagi para kudus iman dan
pengharapan mereka telah disempurnakan yakni mengalami Allah secara langsung.
Dalam relasi yang akrab dengan Allah mereka meneguhkan harapan jiwa-jiwa di api
penyucian bahwa mereka juga akan mengalaminya. Melalui doa bersama orang kudus,
jiwa-jiwa juga mendapatkan dorongan dan dukungan akan kerahiman Allah. Para
kudus melalui doa kepada jiwa-jiwa di api penyucian juga menyatakan iman dan
pengharapannya akan kerahiman dan kesetiaan Allah.
Penutup
Dengan demikian adalah tepat jika dikatakan bahwa
adanya refleksi atas api penyucian mendukung jalannya karya penyelamatan umat
Allah. Karya keselamatan itu terus berlangsung oleh karena iman dan pengharapan
umat Allah. Pengharapan jiwa itu ditujukan pada kerahiman dan kesetiaan Allah.
Oleh karena pengharapan itu berasal dari Allah ketika Ia menyatakan diri-Nya,
maka pengharapan itu tidak pernah hilang dari jiwa manusia. Entah itu ketika
jiwa masih berziarah di dunia juga ketika jiwa telah berada di api penyucian
(demikian juga jika jiwa berada dalam neraka), bahkan di surga oleh para kudus.
Refleksi ini membantu iman dan pengharapan akan
kerahiman dan kesetiaan Allah atas umat manusia. Allah selalu berinisiatif
menyelamatkan jiwa manusia, yakni roh yang menghidupkan Adam yang kelak
diilahikan menjadi serupa dengan Allah. Di sini menjadi jelas bahwa Allah
adalah sumber dan tujuan pengharapan jiwa manusia. Dan lagi persekutuan umat
beriman ini dikukuhkan dalam iman dan pengharapan yang sama.
Sumber Bacaan:
Dister, Nico
Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2,
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Gunawan, H.
Pidyarto, O. Carm, Umat Bertanya Romo Pid
Menjawab 7, Yogyakarta: Kanisius 2004.
Heuken, Adolf,
SJ., Ensiklopedi Gereja I A-B, Jakarta:
Cipta Loka Karya, 2004.
Lalu, Yosep, Pr,
Menggumuli Makna Hidup dalam Terang Iman
Katolik; Seri 4, Jakarta: Kanisius, 2010.
Rausch,Thomas P,.
Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius,
2004.
Spirago - Clarke, The Catechism
Explained - An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, ___(?)
Wuritimur, Amrosius, Traktat Eskatologi, Pineleng, 2011.
KWI, Iman Katolik, Yogyakarga: Kanisius, 1996.
Kompendium
Katekismus Gereja Katolik (KGK).
http://www.gerejakatolik.net/artikel/rahasia.htm
(20
diunduh 10 November 2011)
http://www.thewicaksonos.co.cc./api-penyucian-purgatory-perlukah-mendoakan-orang-yang-telah-meninggal.html
(20 Oktober 2011).
[1] Bdk. Nico
Syukur Dister, OFM, (Teologi Sistematika
2, Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 594. Dan kata ‘Api Penyucian’ dalam, Adolf Heuken, SJ., (Ensiklopedi Gereja I A-B, Jakarta: Cipta Loka Karya, 2004).
[3] Ditambahkan
juga bahwa dalam bahasa resmi gereja tidak disebut “api”, hanya penyucian atau purgatorium. Dalam Kompendium Katekismus
Gereja Katolik, hlm. 75.
[4] Pernyataan ini
kurang lengkap juga sangat abstrak sebab setiap keadaan selalu terpikir dalam
ruang dan waktu. Lih. Thomas P. Rausch, (Katolisisme,
Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 318.
[5] Lih. Thomas P.
Rausch, hlm. 318.
[6] Terkutip dalam, Amrosius
Wuritimur, (Traktat Eskatologi, Pineleng,
2011), hal. 34.
[7] William
P. Saunders, (Straight Answers: Does Purgatory Exist?, Arlington
Catholic Herald, Inc., 2002), dalam www.catholicherald.com (6 Oktober 2011).
[8] Namun
Allah menciptakan manusia dalam keadaan bebas dan manusia sendiri mempunyai
tanggun jawab; Allah mengharagai keputusan-keputusan kita. Karena itu,
manusialah yang dengan bebas memisahkan dirinya dari kesatuan dengan Allah jika
pada saat kematian dia tetap berpegang teguh pada pendiriannya dalam dosa berat
dan menolak cinta dan kerahiman Alah. Dalam Kompendium Katekismus Gereja
Katolik, hlm. 75. KGK no. 1031.
[9] Lih. Yosep
Lalu, (Menggumuli Makna Hidup dalam
Terang Iman Katolik; Seri 4, Jakarta: Kanisius, 2010), hlm. 288-289.
[10] Bdk. Amrosius
Wuritimur, hal. 28
[11] Bdk. 1 Petrus
1: 3-4 “… yang karena rahmat-Nya yang
besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara
orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu
bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat
layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Untuk menerima suatu bagian yang tidak
dapat binasa.”
[12] Tentang tubuh
manusia, dinyatakan bahwa akan dibangkitkan pada penghakiman terakhir yang
bersifat universal. Jiwa-jiwa yang berpisah dari badan akan dipersatukan
kembali dengan badan mereka. Semua orang akan diadili (kembali) oleh Yesus
Kristus. Dr. H. Pidyarto Gunawan, O. Carm, (Umat
Bertanya Romo Pid Menjawab 7, Yogyakarta: Kanisius 2004), hlm. 28.
[13] Adalah St.
Yustinus Martir yang berbicara tentang immortalitas jiwa, bahwa jiwa adalah
pemberian Allah dan hidup bukan dari dirinya tetapi Allah yang menghendakinya
hidup. Dalam hubungannya dengan Tritunggal Kudus, jiwa manusia nantinya
diilahikan bukan dalam arti cobsubstansi dengan Allah tetapi dalam arti imitasi
(serupa) dengan Allah. Bdk. Amrosius Wuritimur, hal. 29.
[14] Menurut banyak
orang sebetulnya ada tiga pintu dihadapan manusia setelah kematiannya yakni
pintu surga, neraka, dan api penyucian. Karena mereka menganggap diri kurang
baik untuk surga, dan juga tidak mau masuk neraka, maka api penyucian dipandang
sebagai pintu yang normal. KWI, Iman
Katolik, Yogyakarga: Kanisius, 1996. hlm.
468. Bdk. Yosef Lalu, hlm. 288.
[15] Spirago- Clarke, The Catechism
Explained - An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, ___(?), hal.
256
[16] Manusia ditetapkan untuk mati hanya
satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian
kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2).
[17] Bdk. wawancara Suster Emmanuel
dari Medjugorje dengan visionari Maria Simma yang diterjemahkan oleh Jeffry
Komala, dari buku The Amazing Secret of the Souls in Purgatory" dalam http://www.gerejakatolik.net/artikel/rahasia.htm ( diunduh 20 Oktober 2011)
[18] Dr. H. Pidyarto Gunawan, O. Carm, hlm. 28.
[19] Bdk. http://www.gerejakatolik.net/artikel/rahasia.htm ( diunduh 10 November 2011)
[20] Bdk. http://www.thewicaksonos.co.cc./api-penyucian-purgatory-perlukah-mendoakan-orang-yang-telah-meninggal.html.
(diunduh 20
Oktober 2011).
[21] Ibid.
[22] Lih. Amrosius
Wuritimur, hal. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar