Kamis, 21 Maret 2013

Dasar-Dasar Pendidikan

Pendidikan Budi Pekerti Dalam Kurikulum Pendidikan
(sebuah jawaban bagi kebutuhan masyarakat kita)
(Oleh: Gerdianus Dicky)
Pendahuluan
I.       Latarbelakang Masalah
Pendidikan dan kehidupan manusia sudah merupakan hal yang tidak asing bagi kita. Baik dalam hal yang positif maupun hal yang negaitf. Hal positif yang bisa kita dengar adalah sekolah gratis[1] yang dicanangkan pemerintah dalam rangka memajukan tingkatan pendidikan yaitu agar semua anak bangsa dapat mengalami pendidikan. Sedangkan hal yang negatif tak kalah banyaknya. Mulai dari isu ujian ulang bagi beberapa sekolah karena terdapat kecurangan dalam prosedur pelaksanaan misalnya dengan kebocoran soal ujian. Berita terakhir ini sangat serius hingga menyita waktu rapat Komisi X DPRRI. Banyak komentar yang datang baik itu berupa wacana untuk dihapuskannya sistem UN, maupun berupa “curhat” dari para peserta pendidikan.
Terlepas dari berita gembira karena sekolah gratis maupun berita negatif dalam ‘kegagalan’ UN dan masih banyak berita yang lainnya, kita mencoba untuk mereview sejauh mana arah pendidikan menjawab kebutuhan pada pembentukan generasi bangsa yang memiliki integritas, akuntabiltas, capabilitas sebagai warga negara yang dapat diandalkan. Yang dalam bahasa pendidikan dikenal dengan pendidikan Budi Pekerti. Sebuah wahana pegembangan karakter anak bangsa menjadi seperti yang diharapkan. Entah sadar atau tidak sadar pendidikan yang mengarah pada pengembangan karakter anak bangsa adalah suatu kebutuhan real bagi pendidikan kita lebih khusus pada pendidikan di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Hal ini dirasakan sebagai kebutuhan real bagi dunia pendidikan apalagi jika dunia pendidikan diperhadapkan pada output pendidikan sekarang dengan kualitas karaketer yang minim. Tawuran mahasiswa dan tindakan korup para pemimpin adalah fenomena yang dapat diangkat untuk menggambarkan bagaimana hasil pendidikan yang telah kita capai selama zaman kemerdekaan. Atas realitas ini kita dapat menerima bahwa pendidikan budi pekerti adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan masalah UN dan sekolah gratis.
Berangkat dari fenomena pendidikan yang hangat dibicarakan di atas penulis merasa perlu mempertegas substansi pendidikan kita yang mengarah pada pembentukan karakter anak bangsa yang bermutu dan dapat menjawab tuntutan di tengah masyarakat akan pemimpin yang berkualitas. Melihat hal ini tentu disadari bahwa kurikulum pendidikan adalah suatu fasilitator yang penting. Karena di dalamnya ia dapat mengakomodir pada tercapainya karakter anak bangsa seperti yang diharapkan.
Untuk maksud di atas maka dalam tulisan sederhana ini akan dibahas beberapa tema pendidikan yang bisa membantu kita pada kesadaran akan Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti Dalam Kurikulum Pendidikan kita. Dalam tulisan sederhana ini penulis akan memakai metode kepustakaan dan metode analisis. Pada bagian pertama akan dibahas arti pendidikan. Di dalam bagian ini kita akan diantar pada pemahaman akan pendidikan budi pekerti. Pada bagian kedua akan dibahas kurikulum pendidikan nasional. Dalamnya kita akan melihat sejauh mana kurikulum pendidikan itu menjawab kebutuhan masyarakat. Kedua pokok bahasan tadi akan mengarahkan kita pada bagian ketiga yang berisi beberapa usulan bagi pengembangan pendidikan budi pekerti. Bagian ini merupakan juga bagian kesimpulan dan penutup dalam tulisan ini.

II.    Arti Pendidikan
1.       Pengertian Etimologis
Sebagai sebuah proses pembelajaran pendidikan dapat ditarik pada pengertian harafiahnya dalam kata bahasa Yunani: pedagogis. Akar kata pedagogis adalah pais (anak) dan kata agogein (memimpin, mengarahkan dan menuntun).[2] Dalam bahasa Latin kata pendidikan disebut Educcatio. Kata ini diturunkan dari e/ex (keluar/ dari dalam) dan kata ducere (menarik, memimpin dan membimbing. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata pendidikan diturunkan dari artikel pe- yang membentuk kata benda dan didik- yang berarti mengajar, membina dan membimbing. Dari kedua akar kata itu dapat dimengerti pendidikan sebagai suatu kegiatan untuk membina, mengajar dan membimbing. Kegiatan ini dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atai kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (punya proses, pembuatan, cara mendidik).[3]
Maka dari arti etimologisnya pendidikan itu menunjuk pada satu kegiatan pembelajaran. Dan dalam pembelajaran itu seorang (anak sebagai symbol dari keadaan ke-belum-bertahuan) dituntun, dipimpin, dituntun/ dibimbing, dan dibina pada arah tercapainya pengetahuan yang bermanfaat baginya. Dan dalam usaha tersebut orang dihantar secara perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan pembelajaran. Dalam tahapan itu terjadi proses pengubahan cara berpikir atau cara bertingkahlaku dengan cara pengajaran peyuluhan dan pelatihan secara khusus pada tingkat pendidikan kognitif.[4] Meskipun pendidikan disini lebih pada peningkatan kongnitif namun aspek  ini tetap memiliki fungsi utama mengarahkan seorang pada pengembangan sikap dan ketrampila.[5] Jadi pendidikan itu pertama-tama tidak diarahkan pada prosesnya semata tetapi lebih dari itu terarah pada tujuan. The education have aid to man but not to itself.

2.      Beberapa Makna Pendidikan
Dalam dunia pendidikan Indonesia ada beberapa ahli yang memberikan sumbangan pemikiran tentang pendidikan itu sendiri. Antara lain:
1.      H. Rohrs: Pendidikan dipandangnya sebagai suatu sarana pedagogi yang didalamnya terdapat usaha disiplin ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan dengan menghargai hasil-hasil dan metode ilmiah di sekelilingnya untuk mencapai suatu penjelasan kenyataan pendidikan.[6]
2.      D. Tedjasudhana:  Pendidikan dirumuskannya sebagai sebuah upaya yang dilakukan secara sadar untuk mendatangkan perubahan sikap pada perliaku seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.[7]
3.      Drs. Suryabrata: Seorang psikolog, pendidikan dilihatnya sebagai sebuah usaha untuk mendidik manusia yang dilakukan dengan rasa tanggungjawab dan mengarahkan mereka pada kedewasaan. [8]
4.      Prof. Richey: Pendidikan dilihatnya dalam kaitannya dengan kegunaannya seperti dalam pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat. Hal yang pokok baginya adalah dalam kegunaannya dalam membawa masyarakt baru (generasi muda) pada kewajiban dan tanggungjawab dalam bermasyarakat. [9]
5.      Prof. Yan van Passen, MSC.,: Pendidikan dilihatnya sebagai sebuah bantuan yang diberikan pada seorang manusia muda untuk keluar dari keadaannya yang mentah, dari keadaan potensiil menuju pada keutamaan dewasa manusianya.[10]
6.      Brubacher: Pendidikan dilihatnya sebagai sebuah proses timbal balik antara tiap pribadi manusia. Proses ini terjadi sebagai bagian dari adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Termasuk juga dengan semua potensi manusia; moral, intelektual, dan jasmani (panca indera). Proses adaptasi ini mengarahkannya pada pengembangan kepribadiannya dan masyarakatnya sebagai tujuan hidupnya.[11]
7.      Carter V. Good: Pendidikan dirumuskannya sebagai sebuah proses perkembangan pribadi, proses sosial, profesional cousces dan seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun yang diwarisi atau dikembangkan dari masa lampau oleh tiap generasi baru.[12]
Berdasarkan pemaparan pandangan dari beberapa ahli di atas maka arti pendidikan itu dapat kelompokan dalam beberapa bidang ilmu. Tentu dengan mengelompoknya dalam beberapa sudut pandang ini dapat menghatar kita pada pemahaman pendidikan menurut pendidikan itu sendiri. Dalam beberapa aspek ini dapat dilihat kekhasan makna pendidikan. Sebab menurut hemat penulis yang mewarnai pendidikan atau apa yang terjadi dalam pendidikan mengacu atau mendapat sumbangan dari beberapa aspek tersebut. Antara lain dari asperk psikologis, filosofis, sosiologis dan antropologis. Disini kita coba memaknai pendidikan dalam sudut pandang beberapa ilmu-ilmu sosial tersebut.
  
1.       Sudut Pandang Etika-Pshikologis 
Dalam sudut pandang etika, dikenal adanya pendidikan etika baik secara formal maupun secara non-formal. Dalam pembahasan ini etika dibatasi pada pendidikan etika secara formal yaitu dalam dunia sekolah. Ini adalah hal yang urgen bagi pembentukan karakter kepribadian seseorang. Dalam pendidikan di sekolah anak secara perlahan baik sadar maupun tak sadar dilatih dan dibiasakan untuk melakukan tindakan yang baik dan benar dan menghindari tindakan yang salah.
Dalam pendidikan etika formal ini peran pendidik adalah penting. Pendidik harus memiliki interitas tinggi supaya dapat menjadi panutan anak didik. Secara psikologis anak pada usis sekolah lebih sensitif pada teladan pendidik. Teladan yang dimaksud adalah cara bersikap pendidik pada suatu masalah dimana terdapat keselarasan antara kata-kata dan perbuatan.
Misalnya dalam cara pendidik mengatasi anak yang dilabel ‘nakal’ yang akhir-akhir ini hangat diberitakan media berupa kekerasan di sekolah. Dari pihat anak didik, kenakalan anak pada usia sekolah ini adalah hal yang wajar. Dimana dengan cara inilah anak mengekspresikan kebutuhannya sesuai dengan cara berpikirnya yang pendek yaitu sebab akibat. Sementara dari pihak pendidik, kenakalan anak ditangkap secara lain dan tanpa pengertian akan kebutuhan anak didik, mengambil sikap kekerasan. Tanpa sadar tindakan kekerasan itu dipandang anak sebagai cara penyelesaian masalah yang ‘tepat’. Secara psikologis prilaku yang demikian akhirnya ditiru dalam alam bawah sadar anak yang akan nampak kelak ketika ia dewasa.
Dari uraian ini nampak bahwa pendidikan formal memiliki andil dalam pembentukan krakter kepribadian seorang anak. Dalam hal cara mengambil sikap terhadap suatu realitas. Kekerasan dalam dalam sekolah ini merupakan satu contoh dari banyak kasus yang dapat mempengaruhi pandangan anak akan hal yang baik dan yang buruk. Jika suatu tidakan negatif sudah terpola besar kemungkinan bahwa pandangan itu akan diterimanya dan mempengaruhi cara berpilakunya. 
2.      Sudut Pandang Sosiologis
Pendidikan dalam sudut pandang sosiologis mendapat tekanan dalam proses sosialisasi yang tentu tidak terlepas dari interaksi yang terjadi. Pendidikan dimaknai sebagai proses pembalajaran nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Dalam interaksi itu proses sosialisasi berjalan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat atas dirinya atau yang dipikirnya sebagai apa yang diharapkan baginya.
Pendidikan dalam arti ini ditekankan pada proses internalisasi nilai-nilai dalam masyarakt yang mana ia tempati. Nilai-nilai itu dirasa perlu untuk dihidupi karen dapat membantunya dapat berpartisipasi dalam masyarakat secara efektif. Dari diri anak proses ini perlu baginya supaya ia dapat diterima dalam kelompok masyaraat. Sedangkan dari masyarakat, proses internalisasi ini penting bagi pelestarian/ pewarisan nilai-nilai yang sudah hidup dalam masyarakat.
Dalam konteks pembentukan karakter kepribadian bangsa, maka situasi masyarakat yang bagaimana-lah yang menjadi point yang perlu diperhatikan. Disini diharapkan situasi masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang menghargai nilai-nilai positif universal, yaitu nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat umum sebagai nilai-nilai yang benar.

3.      Sudut Pandang filosofis
Sudut pandang filosofis di sini lebih dimaksudkan sebagai landasan yang punya andil dalam proses pendidikan atau Filsafat pendidikan (hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai dasar-dasar pendidikan)[13]. Dalam pendidikan landasan filosofis lebih terfokus pada refleksi ilmiah atas ‘tradisi’ pendidikan yang sudah mapan. Motede pendidikan, sistem nilai, paradigma dan material pendidikan yang diterima begitu saja. Dengan sudut pandangan filosofi kemapanan itu dipertanyakan dengan maksud mencapai efektifitas dan efisiensi suatu proses pendidikan. Titik ukur pencapaian ini dapat diamati dalam peran serta outputnya dalam masyarakat.
Tujuan filsafat pendidikan (Zanti Arabi, 1988) adalah antara lain:[14]
1. Memberikan insipirasi kepada para pendidikan untuk melaksanakan ide-ide tertentu dalam pendidikan. Seperti dalam menjawab pertanyaan bagaimana pendidikan itu, kemana arahnya,  siapa yang patut menerimanya, bagaiamana cara dan peran pendidik, dalam perbuatan. Jawaban itu tentu didasari juga dengan asumsi-asumsi tertentu mengenai manusia, masyarakat dan negara tertentu.
J.J. Rosseau, dalam Emile, memberi insipirasi pada pendidikan naturalis. Baginya anak-anak tidak perlu diarahkan dengan metode-metode tertentu, cukup dihindarkan dari bahaya yang berat. Dan dari hal yang meraka alami itu nantinya membantu mereka akan belajar dan berkembang secara perlahan.
2. Memeriksa secara teliti bagaian-bagian pendidikan untuk mengetahui validitasnya. Dengan demikian maka ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan, tujuan pendidikan diperjelas dan alat-alat ditentukan secara tepat.
Francis Bacon, dalam The Advancemnet of Learning, mengatakan bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki manusia memiliki validitas yang bermanfaat dalam penyelesaian persoalan hidup sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari konsep lama yang salah.
3. Menjelaskan/ memberi pengarahan rasional kepada pendidik;  berupa penjelasan atas hakikat manusia, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan; proses perkembangan  itu sendiri, batas-batas bantuan yang diberikan dan batas-batas keterlibatan pendidik, arah (disesuaikan dengan kemampuan, bakat, dan minat), dan target pendidikan itu.
John Herbart, dalam Scence of Education, menghendaki guru yang memiliki informasi yang dapat diandalkan  mengenai tujuan dan proses pendidikan.
4. Memeriksa/ meneliti validitas suatu teori pendidikan dan mencari sendiri konsep pendidikan melalui penelitian lapangan.
John Dewey, dalam Democracy and Education, menyatakan bahwa pengalaman adalah tes terakhir dari segala hal dan merupakan dasar dari semua filsafat pendidikan. Disini filsafat pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar mengajar secara ilmiah dan memberikan catatan kritis tentang nilai dan manfaatnya, kelemahan dan solusi antisipasinya.
Hal yang diharapkan dalam filsafat pendidikan adalah usaha mengali ide-ide baru tentang pendidikan yang lebih tepat dilihat dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa.
Dari ketiga sudut di atas dapat dilihat kerja sama di antara ketiganya. Dan yang menjadi benang merahnya adalah arah pendidikan itu sendiri. Pembentukan pribadi yang berkarakteristik atau dalam bahasa yang trendnya ‘yang punya taste’. Dalam sudut pandang etika-sosiologi yang diperhatikan adalah subsatansi kebutuhan dari pendidikan sedangkan dalam sudut pandang filsafat yang diperhatikan adalah relevan tidaknya sebuah metode yang sudah ada. Atau dalam perannya sudut pandang filsafati dilihat sebagai pemurni dengan mencari kebijakan yang dapat mejaga mutu pendidikannya.

III.  Kurikulum Pendidikan Nasional
Kurikulum yang dilihat disini lebih dikhususkan pada kurikulum pendidikan bagi siswa di bangku SD dan SMP. Kurikulum pada dasarnya mendeskripsikan visi dan misi dalam pendidikan. Umumnya visi dan misi pendidikan yang diarahkan pada pencapaian ‘kesempurnaan’ pengetahuan atau juga dengan dibahasakan sebagai deskripsi administrator untuk mencapai kecerdasan. Tentang kecerdasan Howard Gardner memberikan tujuh kecerdasan/ kejeniusan, yang dapat memberikan kepada kita gambaran apa tujuan pendidikan kita. Antara lain:[15]
1.      linguistik-verbal: kecerdasan dalam bahasa dan pemahaman
2.      Numerik: kecerdasan dalam mengenali hitungan
3.      Spasial: kecerdasan yang berkenaan dengan ruang dan tempat (imajinasi)
4.      Fisik:  kecerdasan dalam menggunakan fisik tubuhnya
5.      Intrapersonal: kecerdasan dalam mengolah emosi
6.      interpersonal: kecerdasan dalam berhubungan dengan orang lain.
7.      Lingkungan: kecerdasan dalam mendayagunakan lingkungan alam sekitar.
Tujuan pendidikan seperti inilah yang diharapakan menjadi arah dan menjadi warna dasar bagi pendidikn kita. Dan harapan yang demikianlah yang coba dirumuskan dalam seperangkat rencana pendidikan/ kurikulum. Maka dalam pembahasan berikut ini kita akan melihat perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia dengan titik tujuannya.
Perjalanan Kurikulum Pendidikan Nasional.[16]
 Sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan kits telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, dan 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbabgsa dan bernegara. Sebab, kurikulum pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Rentjana Pelajaran 1947 (Kurikulum 1968 dan masa sebelumya)
Kurikulum pendidikan pada saat itu, masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, atau hanya meneruskan kurikulum yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai penganti sistem penddikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pndidikan sebagai development confirm lebih menekankan pada pembentukan kareakter manusia Idonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada tahun 1952 kurikulum 1952 disempurnakan dan diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada satu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus merupakan ciri dari kurikulum 1952 terdapat pada setiap rencana pelajaran yang harus memperhatikan hubungan antara isi pelajaran dan kehidupan sehari-hari.
Rentjana Pendidikan 1964
Menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum dan diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok yang menjadi cirinya terletak pada keinginan pemerintah pemerataan  pengetahuan akademik sebagai pembekalan pada jejang SD (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968
Kurikulum ini merupakan perubahan dari kurikulm 1964 yang medapat tekanan pada perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembenaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan perwujudan daru perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upayan untuk membantuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasamani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecedasaran keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikkulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut: berorientasi pada tujuan; Menganut pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliik arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif; Menekanan kepada efisiensi dan efektifitas dalam hal daua dan waktu; Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengna Prosedur Pengembangan Sistem Instruktusional (PPSI). Sistem yang senantiasa emngarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Kurikulum 1984.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill). Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratkan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum darii kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena alasan inilah pada tahun 1984 pemerintah menentapkan pergantian kerikulum 1975 ke kurikulum 1984.
            Secara umum dasar perubahan kurikulum dari 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut: Terdapat bebrapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah; Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik tedapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya dalam sekolah; Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja. Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Berorientasi kepada kebutuhan tujuan instrukusional; Didasari oleh pandangan bahwa pemberian penglaaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif.
Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajaran, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperloleh pengelaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kurikulum ini terbagi dalam tiga caturwulan yang diakhri dengan ujian EBTANAS.[17] Dengan sistem ini seluruh siswa dipastikan lulus setelah menyelesaikan ujian.
Materi pembelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran yangh diberikan. Menamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Komsep-konsep yang dipelajari siswa harus berdasarkan kepada pengertian, baru kemduian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdsasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh kepada kesimpulan. Dari yang mudah menuju kepada kesukaran dan dari sederhana menuju ke kompleks. Menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Menggunakan pendekatan ketrampilan proses. Ketrampilan proses adalah pendekaan belajar emngajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan ketrampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan ketrampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
Karena mungkin dianggap tidak sesuai lagi dengan  kurikulum tersebut maka pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan siswa didik yang dianggap sudah jauh tertiggal oleh bangsa-bangsa lain, misalnya saja negara tetangga, Malaysia. Dahulu banyak siswanya belajat di Indonesia dan banyak guru Indonesia yang mengajar di luar negeri Jiran tersebut. Tapi sekarang mereka bisa bangkirt dan melebihi kita dalam segala bidang. Inilah alasan mengapa pemerintah menganti lagi kurikulum dengan KBM dan sistem II semerter dan diakhiri dengan UAN dan sekarang sudah diganti lagi dengan kutkkulum KTSP (Kurikulum Tingakat Sarjana Pendidikan). Daoam kurikulum ini kecil kemungkinan semua siswa dapat lulus dalam ujian karena ada standar nilai minimal yang terus meningkat sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Pro dan Kontra[18]
Yang setuju memiliki alasan bahwa dengan begitu para siswa atau pelajar tesebut bersungguh-sungguh dalam belajar guna mencapau nilai-nilai yang telah ditentukan. Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa sistem ini terlalu disintgarsi  terhadap mental para siswa dan mungkin belum sesuai dengan  kegiatan belajar mengajar dari tiap-tiap sekolah. Misalkan cara belajar dan kualitas guru yang mengajar, suasana belajar (keadaan kelas), bahkan mungkin kualitas sekpoalj itu sendiri yang tidak mampu menghasilkan lulusan yang bermutu dan propersional. Misalnya sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencul dan yang berada di Propinsi-propinsi. Misalnya sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil dan yang berada di propinsi-propinsi timur Indonesia yang mungkin pemerayaan pendidik (guru) belum sepenuhnya sempurna serta fasilitas yang berada di sekolah-sekolah tersebut belum lengkap.
Alasannya adalah bahwa pendidikan kita masih hanya menciptakan karyawan dan tentara. Dan sistem pendidikan kita dikatan masih terfokus pada sistem pembelajaran dan sistem latihan hal yang tentu berbeda dengan sistem learn about  and learn with atau dengan pelatihan ketrampilan. Ketrampilan ini tidak dibatasi oleh ketrampilan lahiriah tetapi lebih dalam pada ketrampilan disposisi batin dalam menghadapai relita ang membutuhkan jawaban yang tepat.
Alasan ini tidak dimaksudkan untuk mengkambing-hitamkan masa lalu, dan sekalipun ada tendensi untuk itu, melainkan sebagai sampel /contoh untuk lanngakah antisipatif ke depan. Di satu sisi kita bertemu dengan hal-hal posistif dari pendidikan sementara di lain sisi kita tetap berhadapan dengan kekurangnya. Maka kita berpendapat bahwa ada yang belum lengkap dalam pencapaian yang sudah kita raih.

IV.  Pendidikan Budi Pekerti Dalam Kurikulum Pendidikan
Dari penjelasan di atas dapat terlihat dimana letak pendidikan budi pekerti yaitu pada pembagian Howard Gardner atas kecerdasan yang harus dicapai sebagai tujuan pendidikan. Selain itu pada tujuan kurikulum pendidikan 1968 dinyataakn secara jelas bahwa pendidikan itu bertujuan “untuk membantuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasamani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.” Kedua bagian inilah yang secara eksplisit memberikan penekan pada pembentukan kepribadian seseorang. Ini tidak berarti bahwa aspek kognitf tidak penting, melainkan bahwa pribadi itu harus berkembang dalam semua aspek.
Terus menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah pendidikan budi pekerti harus masuk dalam kurikulum sebagai sebuh mata kuliah tersendiri? Jawabanya tentu tidak demikian.
Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai jawaban atas tuntutan di atas adalah anatara lain:
1.      Berangkat dari kesadaran bahwa pendidikan kognitif dan pendidikan nilai (budi pekerti) bersifat saling melengkapi maka pendidikan budi pekerti tidak perlu dipisahkan. Disini ditawarkan suatu komparasi antara pendidikan dalam aspek kognitif dan pendidikan nilai. Dimana sambil pengetahuan itu diajarkan serentak pula dilatih bagaimana sikap dan prilaku anak ketika mendengarkan pengajaran dari guru.
2.      Pelatihan itu dapat dilakukan juga dalam teladan guru saat menghadapi anak didik saat proses belajar mengajar berlangsung. Dimana anak didekati secara psikologis yang sesuai dengan kebutuhan si anak bukan menurut ukuran yang diharapkan seperti orang dewasa. Maka untuk kepentingan ini diharapkan bahwa pengetahuan seorang pendidik perlu juga memiliki pengetahuan dalam bidang psikologis. Berita kekerasan dalam dunia sekolah yang mencuat sekarang ini menunjukkan kurangnya pemahaman guru atas aspek psikologis dari pihak pendidik..

Daftar Pustaka
Kamus dan Enslikopedi;
·         D. Tedjasudhana,  Dalam “Enslikopedi Nasional Indonesia,” (Jakarta 2004)
·         Passen, Prof. Dr. Yan van “Peranan Ibu Dalam Pendidikan” (Pineleng, 1984)
·         Suryabrata, Drs. B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. “Psikologi Pendidikan”  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004)
·         Tempo, 17 Mei, 2009
·         Kompas, 29 Mei 2009
·         Bahan Presentasi Kelompok 4.
·         Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
·         Http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia/



[1] Dalam Tempo, 17 Mei, 2009, hal. 6. Bahwa iklan sokolah gratis dinilai menyesatkan. Sebab dalamnya diiming-imingkan bahwa anak sopir bias jadi pilot. Sementara realitasnya bahwa sekolah gratis hanya untuk tingkat SD dan SMP yang menjadi mubasir bila seorang ingin menjadi pilot. Bdk. Kompas, 29 Mei 2009, hal. 6
[2] Bdk. Prof. Dr. Yan Van Passen, MSC “Peranan Ibu Dalam Pendidikan” Pineleng, 1984, Hal. 2
[3] Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
[4] Bdk. “Kamus Umum Bahasa Indonesia Kontemporer”, Hal. 353. Juga dalam “ Enslikopedi Nasional Indonesia,” Jakarta 2004, hal., 365, dikutip dari artikel D. Tedjasudhana.
[5] Lih. “Enslikopedi OF America” hal. 642 . Di dalamnya pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses yang menjadikan manusia atau seorang individu memperoleh pengetahuan dan wawasan guna pengembangan sikap dan ketrampilan.
[6] Dalam “ Enslikopedi Nasional Indonesia,” Jakarta 2004, hal., 365
[7] Idem.
[8] Bdk. Drs. Suryabrata B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. “Psikologi Pendidikan Keluarga”  Jakarta-2004, PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 239
[9] Bdk. Prof. Richey, “ Planning For Teaching An Introduction To Eucation”
[10] Bdk. Prof. Dr. Yan van Passen, MSC., “   ”
[11] Bdk. Brubachher, “ Modern Philosophies Of Education”,
[12] Bdk. Carter V. Good, “Dictionary Of Education” hal. 42
[13] Diambil dalam bahan presentasi kelompok 4.
[14] Idem.  
[15] Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
[16] Sebagian besar pokok pada bagian ini dikutip dari: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/artkel9.asp
[17] http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia/
[18] Http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar