(sebuah jawaban
bagi kebutuhan masyarakat kita)
(Oleh: Gerdianus Dicky)
Pendahuluan
I.
Latarbelakang
Masalah
Pendidikan
dan kehidupan manusia sudah merupakan hal yang tidak asing bagi kita. Baik
dalam hal yang positif maupun hal yang negaitf. Hal positif yang bisa kita
dengar adalah sekolah gratis[1]
yang dicanangkan pemerintah dalam rangka memajukan tingkatan pendidikan yaitu
agar semua anak bangsa dapat mengalami pendidikan. Sedangkan hal yang negatif
tak kalah banyaknya. Mulai dari isu ujian ulang bagi beberapa sekolah karena
terdapat kecurangan dalam prosedur pelaksanaan misalnya dengan kebocoran soal
ujian. Berita terakhir ini sangat serius hingga menyita waktu rapat Komisi X
DPRRI. Banyak komentar yang datang baik itu berupa wacana untuk dihapuskannya
sistem UN, maupun berupa “curhat”
dari para peserta pendidikan.
Terlepas
dari berita gembira karena sekolah gratis maupun berita negatif dalam
‘kegagalan’ UN dan masih banyak berita yang lainnya, kita mencoba untuk mereview sejauh mana arah pendidikan
menjawab kebutuhan pada pembentukan generasi bangsa yang memiliki integritas, akuntabiltas, capabilitas
sebagai warga negara yang dapat diandalkan. Yang dalam bahasa pendidikan
dikenal dengan pendidikan Budi Pekerti. Sebuah wahana pegembangan karakter anak
bangsa menjadi seperti yang diharapkan. Entah sadar atau tidak sadar pendidikan
yang mengarah pada pengembangan karakter anak bangsa adalah suatu kebutuhan real
bagi pendidikan kita lebih khusus pada pendidikan di tingkat Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah. Hal ini dirasakan sebagai kebutuhan real bagi dunia
pendidikan apalagi jika dunia pendidikan diperhadapkan pada output pendidikan sekarang dengan
kualitas karaketer yang minim. Tawuran mahasiswa dan tindakan korup para
pemimpin adalah fenomena yang dapat diangkat untuk menggambarkan bagaimana
hasil pendidikan yang telah kita capai selama zaman kemerdekaan. Atas realitas
ini kita dapat menerima bahwa pendidikan budi pekerti adalah hal yang tak kalah
pentingnya dengan masalah UN dan sekolah gratis.
Berangkat
dari fenomena pendidikan yang hangat dibicarakan di atas penulis merasa perlu
mempertegas substansi pendidikan kita yang mengarah pada pembentukan karakter anak
bangsa yang bermutu dan dapat menjawab tuntutan di tengah masyarakat akan
pemimpin yang berkualitas. Melihat hal ini tentu disadari bahwa kurikulum
pendidikan adalah suatu fasilitator yang penting. Karena di dalamnya ia dapat
mengakomodir pada tercapainya karakter anak bangsa seperti yang diharapkan.
Untuk
maksud di atas maka dalam tulisan sederhana ini akan dibahas beberapa tema
pendidikan yang bisa membantu kita pada kesadaran akan Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti Dalam Kurikulum Pendidikan kita.
Dalam tulisan sederhana ini penulis akan memakai metode kepustakaan dan metode
analisis. Pada bagian pertama akan dibahas arti pendidikan. Di dalam bagian ini
kita akan diantar pada pemahaman akan pendidikan budi pekerti. Pada bagian
kedua akan dibahas kurikulum pendidikan nasional. Dalamnya kita akan melihat
sejauh mana kurikulum pendidikan itu menjawab kebutuhan masyarakat. Kedua pokok
bahasan tadi akan mengarahkan kita pada bagian ketiga yang berisi beberapa
usulan bagi pengembangan pendidikan budi pekerti. Bagian ini merupakan juga
bagian kesimpulan dan penutup dalam tulisan ini.
II.
Arti Pendidikan
1.
Pengertian
Etimologis
Sebagai
sebuah proses pembelajaran pendidikan dapat ditarik pada pengertian harafiahnya
dalam kata bahasa Yunani: pedagogis.
Akar kata pedagogis adalah pais (anak) dan kata agogein (memimpin, mengarahkan dan
menuntun).[2]
Dalam bahasa Latin kata pendidikan disebut Educcatio.
Kata ini diturunkan dari e/ex
(keluar/ dari dalam) dan kata ducere
(menarik, memimpin dan membimbing. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata
pendidikan diturunkan dari artikel pe-
yang membentuk kata benda dan didik-
yang berarti mengajar, membina dan membimbing. Dari kedua akar kata itu dapat dimengerti pendidikan sebagai
suatu kegiatan untuk membina, mengajar dan membimbing. Kegiatan ini dalam kamus
bahasa Indonesia diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atai kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (punya proses, pembuatan, cara mendidik).[3]
Maka
dari arti etimologisnya pendidikan itu menunjuk pada satu kegiatan
pembelajaran. Dan dalam pembelajaran itu seorang (anak sebagai symbol dari
keadaan ke-belum-bertahuan) dituntun, dipimpin, dituntun/ dibimbing, dan dibina
pada arah tercapainya pengetahuan yang bermanfaat baginya. Dan dalam usaha
tersebut orang dihantar secara perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan
pembelajaran. Dalam tahapan itu terjadi proses pengubahan cara berpikir atau
cara bertingkahlaku dengan cara pengajaran peyuluhan dan pelatihan secara
khusus pada tingkat pendidikan kognitif.[4]
Meskipun pendidikan disini lebih pada peningkatan kongnitif namun aspek ini tetap memiliki fungsi utama mengarahkan
seorang pada pengembangan sikap dan ketrampila.[5]
Jadi pendidikan itu pertama-tama tidak diarahkan pada prosesnya semata tetapi
lebih dari itu terarah pada tujuan. The
education have aid to man but not to
itself.
2.
Beberapa Makna
Pendidikan
Dalam
dunia pendidikan Indonesia ada beberapa ahli yang memberikan sumbangan
pemikiran tentang pendidikan itu sendiri. Antara lain:
1. H. Rohrs:
Pendidikan dipandangnya sebagai suatu sarana
pedagogi yang didalamnya terdapat usaha disiplin ilmiah berdasarkan ilmu
pengetahuan dengan menghargai hasil-hasil dan metode ilmiah di sekelilingnya
untuk mencapai suatu penjelasan kenyataan pendidikan.[6]
2. D.
Tedjasudhana: Pendidikan dirumuskannya
sebagai sebuah upaya yang dilakukan
secara sadar untuk mendatangkan perubahan sikap pada perliaku seseorang
melalui pengajaran dan pelatihan.[7]
3. Drs. Suryabrata:
Seorang psikolog, pendidikan dilihatnya sebagai sebuah usaha untuk mendidik manusia yang dilakukan dengan rasa
tanggungjawab dan mengarahkan mereka pada kedewasaan. [8]
4. Prof. Richey:
Pendidikan dilihatnya dalam kaitannya dengan kegunaannya seperti dalam pemeliharaan dan perbaikan kehidupan
suatu masyarakat. Hal yang pokok baginya adalah dalam kegunaannya dalam membawa
masyarakt baru (generasi muda) pada kewajiban dan tanggungjawab dalam
bermasyarakat. [9]
5. Prof. Yan van
Passen, MSC.,: Pendidikan dilihatnya sebagai sebuah bantuan yang diberikan pada
seorang manusia muda untuk keluar
dari keadaannya yang mentah, dari keadaan potensiil menuju pada keutamaan
dewasa manusianya.[10]
6. Brubacher:
Pendidikan dilihatnya sebagai sebuah
proses timbal balik antara tiap pribadi manusia. Proses ini terjadi sebagai
bagian dari adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Termasuk juga dengan semua
potensi manusia; moral, intelektual, dan jasmani (panca indera). Proses
adaptasi ini mengarahkannya pada pengembangan kepribadiannya dan masyarakatnya
sebagai tujuan hidupnya.[11]
7. Carter V. Good:
Pendidikan dirumuskannya sebagai sebuah
proses perkembangan pribadi, proses sosial, profesional cousces dan seni untuk membuat dan memahami ilmu
pengetahuan yang tersusun yang diwarisi atau dikembangkan dari masa lampau oleh
tiap generasi baru.[12]
Berdasarkan
pemaparan pandangan dari beberapa ahli di atas maka arti pendidikan itu dapat
kelompokan dalam beberapa bidang ilmu. Tentu dengan mengelompoknya dalam
beberapa sudut pandang ini dapat menghatar kita pada pemahaman pendidikan
menurut pendidikan itu sendiri. Dalam beberapa aspek ini dapat dilihat kekhasan
makna pendidikan. Sebab menurut hemat penulis yang mewarnai pendidikan atau apa
yang terjadi dalam pendidikan mengacu atau mendapat sumbangan dari beberapa
aspek tersebut. Antara lain dari asperk psikologis, filosofis, sosiologis dan
antropologis. Disini kita coba memaknai pendidikan dalam sudut pandang beberapa
ilmu-ilmu sosial tersebut.
1.
Sudut Pandang
Etika-Pshikologis
Dalam
sudut pandang etika, dikenal adanya pendidikan etika baik secara formal maupun
secara non-formal. Dalam pembahasan ini etika dibatasi pada pendidikan etika
secara formal yaitu dalam dunia sekolah. Ini adalah hal yang urgen bagi
pembentukan karakter kepribadian seseorang. Dalam pendidikan di sekolah anak
secara perlahan baik sadar maupun tak sadar dilatih dan dibiasakan untuk
melakukan tindakan yang baik dan benar dan menghindari tindakan yang salah.
Dalam
pendidikan etika formal ini peran pendidik adalah penting. Pendidik harus
memiliki interitas tinggi supaya dapat menjadi panutan anak didik. Secara
psikologis anak pada usis sekolah lebih sensitif pada teladan pendidik. Teladan
yang dimaksud adalah cara bersikap pendidik pada suatu masalah dimana terdapat
keselarasan antara kata-kata dan perbuatan.
Misalnya
dalam cara pendidik mengatasi anak yang dilabel ‘nakal’ yang akhir-akhir ini
hangat diberitakan media berupa kekerasan di sekolah. Dari pihat anak didik,
kenakalan anak pada usia sekolah ini adalah hal yang wajar. Dimana dengan cara
inilah anak mengekspresikan kebutuhannya sesuai dengan cara berpikirnya yang
pendek yaitu sebab akibat. Sementara dari pihak pendidik, kenakalan anak
ditangkap secara lain dan tanpa pengertian akan kebutuhan anak didik, mengambil
sikap kekerasan. Tanpa sadar tindakan kekerasan itu dipandang anak sebagai cara
penyelesaian masalah yang ‘tepat’. Secara psikologis prilaku yang demikian
akhirnya ditiru dalam alam bawah sadar anak yang akan nampak kelak ketika ia
dewasa.
Dari
uraian ini nampak bahwa pendidikan formal memiliki andil dalam pembentukan
krakter kepribadian seorang anak. Dalam hal cara mengambil sikap terhadap suatu
realitas. Kekerasan dalam dalam sekolah ini merupakan satu contoh dari banyak
kasus yang dapat mempengaruhi pandangan anak akan hal yang baik dan yang buruk.
Jika suatu tidakan negatif sudah terpola besar kemungkinan bahwa pandangan itu
akan diterimanya dan mempengaruhi cara berpilakunya.
2.
Sudut Pandang
Sosiologis
Pendidikan
dalam sudut pandang sosiologis mendapat tekanan dalam proses sosialisasi yang
tentu tidak terlepas dari interaksi yang terjadi. Pendidikan dimaknai sebagai
proses pembalajaran nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Dalam interaksi
itu proses sosialisasi berjalan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat
atas dirinya atau yang dipikirnya sebagai apa yang diharapkan baginya.
Pendidikan
dalam arti ini ditekankan pada proses internalisasi nilai-nilai dalam masyarakt
yang mana ia tempati. Nilai-nilai itu dirasa perlu untuk dihidupi karen dapat
membantunya dapat berpartisipasi dalam masyarakat secara efektif. Dari diri
anak proses ini perlu baginya supaya ia dapat diterima dalam kelompok
masyaraat. Sedangkan dari masyarakat, proses internalisasi ini penting bagi
pelestarian/ pewarisan nilai-nilai yang sudah hidup dalam masyarakat.
Dalam
konteks pembentukan karakter kepribadian bangsa, maka situasi masyarakat yang
bagaimana-lah yang menjadi point yang perlu diperhatikan. Disini diharapkan
situasi masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang menghargai nilai-nilai
positif universal, yaitu nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat umum sebagai
nilai-nilai yang benar.
3.
Sudut Pandang
filosofis
Sudut
pandang filosofis di sini lebih dimaksudkan sebagai landasan yang punya andil
dalam proses pendidikan atau Filsafat pendidikan (hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam sampai dasar-dasar pendidikan)[13].
Dalam pendidikan landasan filosofis lebih terfokus pada refleksi ilmiah atas
‘tradisi’ pendidikan yang sudah mapan. Motede pendidikan, sistem nilai,
paradigma dan material pendidikan yang diterima begitu saja. Dengan sudut
pandangan filosofi kemapanan itu dipertanyakan dengan maksud mencapai
efektifitas dan efisiensi suatu proses pendidikan. Titik ukur pencapaian ini
dapat diamati dalam peran serta outputnya dalam masyarakat.
Tujuan
filsafat pendidikan (Zanti Arabi, 1988) adalah antara lain:[14]
1. Memberikan insipirasi kepada para pendidikan untuk
melaksanakan ide-ide tertentu dalam pendidikan. Seperti dalam menjawab
pertanyaan bagaimana pendidikan itu, kemana arahnya, siapa yang patut menerimanya, bagaiamana cara
dan peran pendidik, dalam perbuatan. Jawaban itu tentu didasari juga dengan
asumsi-asumsi tertentu mengenai manusia, masyarakat dan negara tertentu.
J.J.
Rosseau, dalam Emile, memberi
insipirasi pada pendidikan naturalis. Baginya anak-anak tidak perlu diarahkan
dengan metode-metode tertentu, cukup dihindarkan dari bahaya yang berat. Dan
dari hal yang meraka alami itu nantinya membantu mereka akan belajar dan
berkembang secara perlahan.
2. Memeriksa secara teliti bagaian-bagian pendidikan untuk
mengetahui validitasnya. Dengan demikian maka ide-ide yang kompleks bisa
dijernihkan, tujuan pendidikan diperjelas dan alat-alat ditentukan secara
tepat.
Francis
Bacon, dalam The Advancemnet of Learning,
mengatakan bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki manusia memiliki
validitas yang bermanfaat dalam penyelesaian persoalan hidup sehari-hari, bila
pengetahuan itu dibersihkan dari konsep lama yang salah.
3. Menjelaskan/ memberi pengarahan rasional kepada
pendidik; berupa penjelasan atas hakikat
manusia, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan; proses
perkembangan itu sendiri, batas-batas
bantuan yang diberikan dan batas-batas keterlibatan pendidik, arah (disesuaikan
dengan kemampuan, bakat, dan minat), dan target pendidikan itu.
John
Herbart, dalam Scence of Education,
menghendaki guru yang memiliki informasi yang dapat diandalkan mengenai tujuan dan proses pendidikan.
4. Memeriksa/ meneliti validitas suatu teori pendidikan
dan mencari sendiri konsep pendidikan melalui penelitian lapangan.
John
Dewey, dalam Democracy and Education, menyatakan
bahwa pengalaman adalah tes terakhir dari segala hal dan merupakan dasar dari
semua filsafat pendidikan. Disini filsafat pendidikan berusaha menafsirkan
proses belajar mengajar secara ilmiah dan memberikan catatan kritis tentang
nilai dan manfaatnya, kelemahan dan solusi antisipasinya.
Hal
yang diharapkan dalam filsafat pendidikan adalah usaha mengali ide-ide baru
tentang pendidikan yang lebih tepat dilihat dari kewajaran keberadaan peserta
didik dan pendidik maupun dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu
bangsa.
Dari
ketiga sudut di atas dapat dilihat kerja sama di antara ketiganya. Dan yang
menjadi benang merahnya adalah arah pendidikan itu sendiri. Pembentukan pribadi
yang berkarakteristik atau dalam bahasa yang trendnya ‘yang punya taste’. Dalam sudut pandang etika-sosiologi yang
diperhatikan adalah subsatansi kebutuhan dari pendidikan sedangkan dalam sudut
pandang filsafat yang diperhatikan adalah relevan tidaknya sebuah metode yang
sudah ada. Atau dalam perannya sudut pandang filsafati dilihat sebagai pemurni
dengan mencari kebijakan yang dapat mejaga mutu pendidikannya.
III. Kurikulum
Pendidikan Nasional
Kurikulum
yang dilihat disini lebih dikhususkan pada kurikulum pendidikan bagi siswa di bangku
SD dan SMP. Kurikulum pada dasarnya mendeskripsikan visi dan misi dalam
pendidikan. Umumnya visi dan misi pendidikan yang diarahkan pada pencapaian
‘kesempurnaan’ pengetahuan atau juga dengan dibahasakan sebagai deskripsi
administrator untuk mencapai kecerdasan. Tentang kecerdasan Howard Gardner
memberikan tujuh kecerdasan/ kejeniusan, yang dapat memberikan kepada kita
gambaran apa tujuan pendidikan kita. Antara lain:[15]
1.
linguistik-verbal: kecerdasan dalam bahasa dan pemahaman
2.
Numerik: kecerdasan dalam mengenali hitungan
3.
Spasial: kecerdasan yang berkenaan dengan ruang dan
tempat (imajinasi)
4.
Fisik: kecerdasan
dalam menggunakan fisik tubuhnya
5.
Intrapersonal: kecerdasan dalam mengolah emosi
6.
interpersonal: kecerdasan dalam berhubungan dengan orang
lain.
7.
Lingkungan: kecerdasan dalam mendayagunakan lingkungan
alam sekitar.
Tujuan
pendidikan seperti inilah yang diharapakan menjadi arah dan menjadi warna dasar
bagi pendidikn kita. Dan harapan yang demikianlah yang coba dirumuskan dalam
seperangkat rencana pendidikan/ kurikulum. Maka dalam pembahasan berikut ini
kita akan melihat perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia dengan titik
tujuannya.
Perjalanan Kurikulum Pendidikan Nasional.[16]
Sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan kits
telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,
1968, 1975, 1984, dan 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam
masyarakat berbabgsa dan bernegara. Sebab, kurikulum pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat.
Rentjana Pelajaran 1947 (Kurikulum 1968 dan masa
sebelumya)
Kurikulum
pendidikan pada saat itu, masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda
dan Jepang, atau hanya meneruskan kurikulum yang pernah digunakan sebelumnya.
Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai penganti sistem penddikan
kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam
semangat juang merebut kemerdekaan maka pndidikan sebagai development confirm lebih menekankan pada pembentukan kareakter
manusia Idonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di
muka bumi.
Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada
tahun 1952 kurikulum 1952 disempurnakan dan diberi nama Rentjana Pelajaran
Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada satu sistem pendidikan
nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus merupakan ciri dari kurikulum 1952
terdapat pada setiap rencana pelajaran yang harus memperhatikan hubungan antara
isi pelajaran dan kehidupan sehari-hari.
Rentjana Pendidikan 1964
Menjelang
tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum dan diberi nama
Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok yang menjadi cirinya terletak pada
keinginan pemerintah pemerataan
pengetahuan akademik sebagai pembekalan pada jejang SD (Hamalik, 2004),
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, keprigelan, dan
jasmani.
Kurikulum 1968
Kurikulum
ini merupakan perubahan dari kurikulm 1964 yang medapat tekanan pada perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembenaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan
perwujudan daru perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upayan untuk membantuk manusia pancasila sejati,
kuat, dan sehat jasamani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada
kegiatan mempertinggi kecedasaran keterampilan, serta mengembangkan fisik yang
sehat dan kuat.
Kurikulum 1975
Kurikulum
1975 sebagai pengganti kurikkulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di
antaranya sebagai berikut: berorientasi pada tujuan; Menganut pendekatan
integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliik arti dan peranan yang
menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif; Menekanan
kepada efisiensi dan efektifitas dalam hal daua dan waktu; Menganut pendekatan
sistem instruksional yang dikenal dengna Prosedur Pengembangan Sistem
Instruktusional (PPSI). Sistem yang senantiasa emngarah kepada tercapainya
tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Kurikulum 1984.
Dipengaruhi
psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon
(rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratkan
keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum darii kurikulum 1975 ke
kurikulum 1984. Karena alasan inilah pada tahun 1984 pemerintah menentapkan
pergantian kerikulum 1975 ke kurikulum 1984.
Secara umum dasar
perubahan kurikulum dari 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai
berikut: Terdapat bebrapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah; Terdapat ketidakserasian antara materi
kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik tedapat kesenjangan
antara program kurikulum dan pelaksanaannya dalam sekolah; Terlalu padatnya isi
kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
Pengadaan
program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
lapangan kerja. Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara
Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975.
Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Berorientasi kepada
kebutuhan tujuan instrukusional; Didasari oleh pandangan bahwa pemberian
penglaaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di
sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif.
Oleh
karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajaran, yang pertama harus
dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. Pendekatan pengajarannya
berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah
pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa
memperloleh pengelaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Kurikulum ini terbagi dalam tiga caturwulan yang
diakhri dengan ujian EBTANAS.[17]
Dengan sistem ini seluruh siswa dipastikan lulus setelah menyelesaikan ujian.
Materi
pembelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah
pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan
keluasan materi pelajaran yangh diberikan. Menamkan pengertian terlebih dahulu
sebelum diberikan latihan. Komsep-konsep yang dipelajari siswa harus
berdasarkan kepada pengertian, baru kemduian diberikan latihan setelah
mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk
membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya. Materi disajikan berdasarkan
tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdsasarkan
tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus
melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan
menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh kepada kesimpulan. Dari yang
mudah menuju kepada kesukaran dan dari sederhana menuju ke kompleks.
Menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Menggunakan
pendekatan ketrampilan proses. Ketrampilan proses adalah pendekaan belajar
emngajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan ketrampilan memperoleh
pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan ketrampilan proses
diupayakan dilakukan secara efektif dan efektif dan efesien dalam mencapai
tujuan pelajaran.
Karena
mungkin dianggap tidak sesuai lagi dengan
kurikulum tersebut maka pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan
siswa didik yang dianggap sudah jauh tertiggal oleh bangsa-bangsa lain,
misalnya saja negara tetangga, Malaysia. Dahulu banyak siswanya belajat di
Indonesia dan banyak guru Indonesia yang mengajar di luar negeri Jiran
tersebut. Tapi sekarang mereka bisa bangkirt dan melebihi kita dalam segala
bidang. Inilah alasan mengapa pemerintah menganti lagi kurikulum dengan KBM dan
sistem II semerter dan diakhiri dengan UAN dan sekarang sudah diganti lagi
dengan kutkkulum KTSP (Kurikulum Tingakat Sarjana Pendidikan). Daoam kurikulum
ini kecil kemungkinan semua siswa dapat lulus dalam ujian karena ada standar
nilai minimal yang terus meningkat sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Pro dan Kontra[18]
Yang
setuju memiliki alasan bahwa dengan begitu para siswa atau pelajar tesebut
bersungguh-sungguh dalam belajar guna mencapau nilai-nilai yang telah
ditentukan. Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa sistem ini terlalu disintgarsi terhadap mental para siswa dan mungkin belum
sesuai dengan kegiatan belajar mengajar
dari tiap-tiap sekolah. Misalkan cara belajar dan kualitas guru yang mengajar,
suasana belajar (keadaan kelas), bahkan mungkin kualitas sekpoalj itu sendiri
yang tidak mampu menghasilkan lulusan yang bermutu dan propersional. Misalnya
sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencul dan yang berada di
Propinsi-propinsi. Misalnya sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah
terpencil dan yang berada di propinsi-propinsi timur Indonesia yang mungkin pemerayaan
pendidik (guru) belum sepenuhnya sempurna serta fasilitas yang berada di
sekolah-sekolah tersebut belum lengkap.
Alasannya
adalah bahwa pendidikan kita masih hanya menciptakan karyawan dan tentara. Dan
sistem pendidikan kita dikatan masih terfokus pada sistem pembelajaran dan
sistem latihan hal yang tentu berbeda dengan sistem learn about and learn with atau dengan pelatihan
ketrampilan. Ketrampilan ini tidak dibatasi oleh ketrampilan lahiriah tetapi
lebih dalam pada ketrampilan disposisi batin dalam menghadapai relita ang
membutuhkan jawaban yang tepat.
Alasan
ini tidak dimaksudkan untuk mengkambing-hitamkan
masa lalu, dan sekalipun ada tendensi untuk itu, melainkan sebagai sampel /contoh untuk lanngakah
antisipatif ke depan. Di satu sisi kita bertemu dengan hal-hal posistif dari
pendidikan sementara di lain sisi kita tetap berhadapan dengan kekurangnya.
Maka kita berpendapat bahwa ada yang belum lengkap dalam pencapaian yang sudah
kita raih.
IV. Pendidikan Budi Pekerti Dalam Kurikulum Pendidikan
Dari
penjelasan di atas dapat terlihat dimana letak pendidikan budi pekerti yaitu
pada pembagian Howard Gardner atas kecerdasan yang harus dicapai sebagai tujuan
pendidikan. Selain itu pada tujuan kurikulum pendidikan 1968 dinyataakn secara
jelas bahwa pendidikan itu bertujuan “untuk membantuk manusia pancasila sejati,
kuat, dan sehat jasamani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.” Kedua bagian inilah yang secara
eksplisit memberikan penekan pada pembentukan kepribadian seseorang. Ini tidak
berarti bahwa aspek kognitf tidak penting, melainkan bahwa pribadi itu harus
berkembang dalam semua aspek.
Terus
menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah pendidikan budi pekerti harus masuk
dalam kurikulum sebagai sebuh mata kuliah tersendiri? Jawabanya tentu tidak
demikian.
Beberapa
saran yang dapat diberikan sebagai jawaban atas tuntutan di atas adalah anatara
lain:
1.
Berangkat dari kesadaran bahwa pendidikan kognitif dan
pendidikan nilai (budi pekerti) bersifat saling melengkapi maka pendidikan budi
pekerti tidak perlu dipisahkan. Disini ditawarkan suatu komparasi antara
pendidikan dalam aspek kognitif dan pendidikan nilai. Dimana sambil pengetahuan
itu diajarkan serentak pula dilatih bagaimana sikap dan prilaku anak ketika
mendengarkan pengajaran dari guru.
2.
Pelatihan itu dapat dilakukan juga dalam teladan guru
saat menghadapi anak didik saat proses belajar mengajar berlangsung. Dimana
anak didekati secara psikologis yang sesuai dengan kebutuhan si anak bukan
menurut ukuran yang diharapkan seperti orang dewasa. Maka untuk kepentingan ini
diharapkan bahwa pengetahuan seorang pendidik perlu juga memiliki pengetahuan
dalam bidang psikologis. Berita kekerasan dalam dunia sekolah yang mencuat
sekarang ini menunjukkan kurangnya pemahaman guru atas aspek psikologis dari
pihak pendidik..
Daftar Pustaka
Kamus
dan Enslikopedi;
·
D. Tedjasudhana, Dalam “Enslikopedi
Nasional Indonesia,” (Jakarta 2004)
·
Passen, Prof. Dr. Yan van “Peranan Ibu Dalam Pendidikan” (Pineleng, 1984)
·
Suryabrata, Drs. B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. “Psikologi Pendidikan” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004)
·
Tempo, 17 Mei, 2009
·
Kompas, 29 Mei 2009
·
Bahan Presentasi Kelompok 4.
·
Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
·
Http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia/
[1] Dalam Tempo, 17 Mei, 2009, hal.
6. Bahwa iklan sokolah gratis dinilai menyesatkan. Sebab dalamnya
diiming-imingkan bahwa anak sopir bias jadi pilot. Sementara realitasnya bahwa
sekolah gratis hanya untuk tingkat SD dan SMP yang menjadi mubasir bila seorang
ingin menjadi pilot. Bdk. Kompas, 29 Mei 2009, hal. 6
[2]
Bdk. Prof. Dr. Yan Van Passen, MSC “Peranan
Ibu Dalam Pendidikan” Pineleng, 1984, Hal. 2
[3] Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
[4]
Bdk. “Kamus Umum Bahasa Indonesia
Kontemporer”, Hal. 353. Juga dalam “ Enslikopedi
Nasional Indonesia,” Jakarta 2004, hal., 365, dikutip dari artikel D.
Tedjasudhana.
[5]
Lih. “Enslikopedi OF America” hal.
642 . Di dalamnya pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses yang menjadikan
manusia atau seorang individu memperoleh pengetahuan dan wawasan guna
pengembangan sikap dan ketrampilan.
[6]
Dalam “ Enslikopedi Nasional Indonesia,”
Jakarta 2004, hal., 365
[7] Idem.
[8]
Bdk. Drs. Suryabrata B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. “Psikologi Pendidikan Keluarga”
Jakarta-2004, PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 239
[9]
Bdk. Prof. Richey, “ Planning For
Teaching An Introduction To Eucation”
[10]
Bdk. Prof. Dr. Yan van Passen, MSC., “ ”
[11]
Bdk. Brubachher, “ Modern Philosophies Of
Education”,
[12]
Bdk. Carter V. Good, “Dictionary Of
Education” hal. 42
[13] Diambil dalam bahan presentasi
kelompok 4.
[14] Idem.
[15] Http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/09/23/pendidikan-di-abad-informasi/
[16] Sebagian besar pokok pada bagian
ini dikutip dari: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/artkel9.asp
[17] http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia/
[18] Http://kewarganegaraan.wordspress.com/2007/11/13/kurikulum-pendidikan-nasional-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar